Mas Presiden, Mas Menteri, Kang Gubernur

Dilihat: 559 kali
Rabu, 16 Desember 2020

Ke-resmi-an atau formalitas itu punya rasa wibawa sekaligus kaku dalam menjalin kehangatan. Panggilan “Bapak” yang melekat dalam sebuah jabatan, apalagi jabatan kekuasaan, dan politik pula, cenderung membuat hubungan yang memerintah dan diperintah semakin kuat, melampaui hubungan bos dan pegawai yang menuntut dan dituntut, dapat melintasi  relasi budak dan majikan yang sewenang-wenang.

Paling tidak, dalam pola komunikasi yang semakin berkembang dan kompleks ini, kehadiran “Mas”, “Kang”, “Mang”, “Bro”, atau sapaan perbendaharaan budaya Indonesia lainnya, akan menghadirkan situasi relasi emansipatif, sejajar, muda (tidak kolot) dan tentunya rasa persahabatan yang melekat.

Tapi lucu juga jika sapaan “Mas atau Kang Gubernur” melekat dalam sebuah surat yang resmi, katakanlah surat yang ditujukan bunyinya seperti ini “Kepada Yth. Kang Gubernur .” Tentu saja ini bukan persoalan EYD atau tata nulis namun juga tata etika yang sebetulnya tidak berpengaruh juga terhadap menurunnya wibawa atau kehormatan jabatan seseorang.

Rasa hangat dalam menjalin relasi komunikasi perlu mendobrak pakem feodalisme yang gila hormat, haus citra, yang senantiasa bersemayam dalam sebuah kuasa politik birokrasi yang kaku.

Ruang komunikasi semakin terbuka, tidak lagi dikangkangi oleh satu pihak seperti dahulu dengan kontrol informasi lewat lembaga departemen penerangan. Kanal untuk menyapa tidak lagi menjadi domain, dominasi, sekaligus dikendalikan dengan pola top down.

Sapaan dengan rasa egaliter ini membuka keleluasaan serta keluwesan masyarakat dalam menyampaikan aspirasi dan opini. Lebih jauh masyarakat terlibat secara langsung dan turut menentukan arah pembangunan dan kemajuan bangsa, sebagai subjek pembangunan.

Sisi lain yang tak kalah penting adalah perubahan cara pandang (paradigma) soal kata “pemerintah” yang sacara harfiahnya adalah yang memerintah (dan tentu saja di sana ada yang diperintah), berbanding balik dengan arti substansinya “melayani”.

Bagaimana mungkin kata “pemerintah” memiliki makna “melayani”? Kan tidak nyambung. Tapi apa mungkin mengganti kata “pemerintah” menjadi “pelayan”, bunyi di kop suratnya, mosok jadi begini “Pelayan Provinsi Jawa Barat”?

O, ndak bisa, itu kan dah jadi ketentuan, aturan, dan Undang-Undang, plus Undang-undang Dasar pula. Lha, tapi bukannya semua aturan tersebut diprakarsai dan dibuat oleh manusia seiring dengan dinamika sejarahnya, yang masing-masing fase tersebut meniscayakan sebuah perubahan demi  ke arah yang lebih baik? Termasuk soal persepsi tafsir yang sederhana ini, tapi cukup fatal dan mengecoh makna dan nilai.

Ya sudah, bagaimana enaknya ajah untuk menyapa, selama sapaan itu semakin mendekatkan jarak, menghangatkan persahabatan, gunakan saja sapaan hormat dengan sapaan yang dimiliki oleh budaya bangsa Indonesia. Bukan begitu Mas Presiden dan Kang Gubernur? (snd).