Oleh: Yoga Prabowo Pongdatu, Mahasiswa Magang di Jabar Saber Hoaks, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran
Seiring dengan perkembangan teknologi dan digitalisasi, media online menjadi wadah penyebaran informasi yang sangat pesat dan berpengaruh oleh masyarakat. Informasi yang diperoleh masyarakat melalui media online sangat beragam sehingga mempengaruhi cara masyarakat dalam mengkonsumsi informasi yang diberikan tersebut. Dengan kebebasan masyarakat dalam memberikan dan mengakses informasi melalui media online, menyebabkan kebenaran informasi tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan memiliki indikasi hoaks. Tidak sedikit hoaks menyebar di media online, tim Jabar Saber Hoaks Provinsi Jawa Barat mencatat terdapat 70 hoaks pada bulan Oktober 2024. Hoaks tersebut pun memiliki variasi—dalam modusnya—mulai dari satir ataupun menyindir maupun pemberian berita palsu untuk kepentingan pribadi (JSH Website, 2024).
Salah satu bentuk hoaks yang sering terjadi saat ini di media online—terutama di media sosial—adalah bersifat anonim atau anonimitas. Hoaks telah menyebar di berbagai platform media sosial, terutama informasi yang disebarkan secara anonim dengan menggunakan identitas orang lain atau teknologi seperti kecerdasan buatan untuk membuat konten yang terlihat seperti asli. Salah satu alasan hoaks menyebar begitu cepat di internet adalah karena anonimitas, yang memungkinkan pelaku bersembunyi tanpa khawatir akan akibatnya. Dengan semakin banyaknya akun anonim yang menyebarkan hoaks, masyarakat seringkali tidak memiliki alat atau informasi yang cukup untuk membedakan kebenaran dari kebohongan. Hal ini dapat dilihat dalam contoh-contoh hoaks yang menyebar di TikTok dengan memanipulasi gambar dan video menggunakan teknologi AI dan identitas palsu.
Beberapa yang dikonfirmasi oleh tim Jabar Saber Hoaks sebagai bentuk hoaks yang mengatasnamakan pejabat publik ada pada artikel cek fakta dengan berjudul “IRIANA ISTRI JOKOWI BERIKAN BANTUAN DI AKHIR MASA JABATAN”, “RANO KARNO AKAN MEMBAGIKAN UANG 20 JUTA DI TIKTOK” dan “SAHRUL GUNAWAN BAGI UANG 20 JUTA”. Dilansir dari artikel cek fakta Jabar Saber Hoaks berikut, ketiga hoaks diatas menggunakan pola yang sama dalam, menyebarkan hoaks. Hoaks tersebut menggunakan akun serta konten video atau foto yang mengatasnamakan pejabat publik lalu mengiming-imingi sejumlah uang dengan syarat tertentu. Hoaks ini justru dipercaya oleh beberapa pihak dibuktikan dengan sejumlah like dan comment postingan yang mendukung dan mengikuti persyaratan yang diberikan (JSH Instagram, 2024).
Pembuatan hoaks di media sosial umumnya mengikuti pola tertentu yang melibatkan penggunaan akun anonim atau identitas palsu untuk meningkatkan kepercayaan audiens. Menurut penelitian yang dipublikasikan, anonimitas memberikan kebebasan bagi para penyebar hoaks untuk melakukan tindakan yang seharusnya tidak berani mereka lakukan secara terbuka (Pohan & Hasyim, 2022). Pelaku memanipulasi citra publik figur atau individu terkenal untuk menarik perhatian masyarakat dan meningkatkan visibilitas informasi palsu tersebut. Selain itu, teknologi AI semakin memperkuat pola ini dengan memberikan kemampuan kepada penyebar hoaks untuk membuat gambar dan video yang tampak otentik namun sebenarnya manipulatif. Penelitian menyatakan bahwa teknologi ini tidak hanya memperdaya masyarakat awam, tetapi juga individu dengan literasi digital yang lebih tinggi (Effendi, 2023).
Teori anonimitas menjelaskan bahwa ketika seseorang berinteraksi dalam lingkungan yang tidak menampilkan identitasnya, mereka cenderung menunjukkan perilaku yang lebih bebas dari norma sosial. Hal ini berhubungan erat dengan "disinhibition effect" atau efek disinhibisi, di mana individu merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang biasanya tidak akan mereka lakukan secara langsung, seperti menyebarkan informasi palsu atau bersikap agresif (Aini, 2024). Dalam konteks penyebaran hoaks, disinhibition effect berfungsi sebagai pendorong bagi pengguna media sosial untuk menyebarkan konten tanpa memikirkan konsekuensi. Pelaku merasakan adanya jarak antara diri mereka yang sebenarnya dan kehadiran virtual mereka di media sosial. Sebuah studi menunjukkan bahwa individu yang beroperasi dalam situasi anonim lebih cenderung untuk menunjukkan perilaku yang merugikan, termasuk penyebaran hoaks dan penghinaan.
Para penyebar hoaks secara strategis menargetkan individu atau kelompok dengan tingkat literasi digital yang rendah dan bias tertentu, seperti afiliasi politik atau ideologis, yang dapat memengaruhi kecenderungan untuk percaya pada informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka. Bias konfirmasi memainkan peran penting dalam penyebaran hoaks karena orang lebih mungkin untuk mempercayai informasi yang mendukung perspektif pelaku. Akibatnya, masyarakat yang kurang kritis terhadap informasi yang diterima dari media sosial menjadi sasaran yang rentan bagi penyebar hoaks. Selain itu terdapat faktor-faktor psikologis seperti kebutuhan untuk mengekspresikan pendapat yang kontroversial atau mengkritik tanpa takut dikenali juga mendukung perilaku penyebaran hoaks di kalangan pengguna anonim. Kebutuhan untuk mengungkapkan perasaan tanpa batasan ini mempercepat siklus penyebaran hoaks dan memperburuk efek negatif dari informasi palsu di media sosial.
Peningkatan kasus hoaks anonim di media sosial membutuhkan perhatian serius, baik dari pengguna individu maupun dari pihak pengelola platform. Untuk mencegah hoaks anonim, langkah-langkah seperti meningkatkan literasi digital masyarakat, penerapan teknologi verifikasi identitas yang lebih ketat, serta kebijakan anti-hoaks dari platform media sosial sangat penting. Literasi digital yang kuat memungkinkan pengguna untuk lebih kritis terhadap informasi yang mereka konsumsi, sedangkan kebijakan identifikasi yang lebih ketat dapat menekan penggunaan akun anonim untuk tujuan menyebarkan informasi palsu. Jika langkah-langkah ini diterapkan dengan baik, masyarakat dapat menjadi lebih tangguh dalam menghadapi hoaks dan efek negatifnya di media sosial.