HOAKS PENCATUTAN NAMA PEJABAT PUBLIK, GANGGU TATANAN KEHARMONISAN MASYARAKAT

Dilihat: 386 kali
Rabu, 28 Desember 2022

Intensitas penyebaran informasi palsu atau hoaks dengan kemasan narasi pencatutan nama seorang pejabat publik cenderung meningkat di bulan Desember 2022 ini.

Merujuk pada kanal media informasi Unit Jabar Saber Hoaks, pada kurun bulan Desember 2022, setidaknya terdapat lima infromasi keliru yang diproduksi dan disebarluaskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dengan kemasan narasi sengaja mencatut atau memanfaatkan nama seorang pejabat publik.

Kelima nama pejabat publik yang dicatut namanya adalah, Tri Adhianto Tjahyono (Plt. Wali Kota Bekasi), H. Imron Rosyadi (Bupati Cirebon), H. Nana Suryana (Wakil Wali Kota Banjar), H. Erwan Setiawan (Wakil Bupati Sumedang), dan Iwan Setiawan (Plt. Bupati Bogor).

Plt. Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto Tjahyono, dicatut namanya pada satu salinan surat berkop Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia terkait pemberitahuan pemberian anggaran bantuan akhir tahun 2022 yang ditujukan kepada lembaga-lembaga.

Narasi pada surat itu menyebut, untuk informasi lebih lanjut terkait bantuan tersebut dapat menghubungi Plt. Wali Kota Bekasi Tri Adhianto Tjahyono sebagai kontak personal konfirmasi bantuan. Hasil pengecekan fakta, surat tersebut adalah palsu.

Informasi keliru selanjutnya adalah terkait pencatutan nama Bupati Cirebon, H. Imron Rosyadi. H. Imron dicatut namanya sebagai pemilik nomor WhatsApp yang memberikan informasi kepada masyarakat terkait bantuan dana hibah massjid/musholah tahun anggaran 2022. Setelah dilakukan penelusuran, nomor tersebut bukanlah milik Bupati Cirebon, H. Imron Rosyadi.

Hal yang sama juga menimpa Wakil Wali Kota Banjar, H. Nana Suryana. Nama dirinya sempat dicatut di sebuah akun WhatsApp. Kala itu, beberapa pengguna WhatsApp di wilayah Kota Banjar mengaku sempat berkomunikasi dengan nomor tersebut yang dikira sebagai Wakil Wali Kota Banjar.

Mencermati fenomena tersebut, hoaks dengan kemasan pencatutan nama pejabat publik dalam sebuah informasi palsu faktanya kerap terjadi – dan dengan beragam motif tujuan.

Dampaknya jelas, bukan saja dapat merusak citra pejabat itu sendiri, namun, penyebaran hoaks yang masif pelahan dapat mengganggu bahkan merusak tatanan keharmonisan kehidupan masyarakat di suatu lingkungan – terlebih bagi kelompok masyarakat yang awam akan pengetahuan literasi digital.

Melansir dari artikel merdeka.com, psikiater Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, dr. Gina Anindyajati, Sp.KJ, menyebutkan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang percaya terhadap berita bohong atau hoaks.

Faktor pertama adalah, kecenderungan untuk menyangkal apa yang sedang terjadi. Sehingga individu yang bersangkutan akan mempercayai apapun yang kontra/berlawanan dengan fakta yang ada.

Faktor kedua berkaitan dengan kecenderungan psikologis untuk percaya terhadap teori konspirasi. Faktor ketiga, keterikatan secara ideologis maupun politik terhadap penyebar hoaks (se-aliran).

Disinformasi/misinformasi : bagian dari ekosistem komunikasi di era digital

Berdasarkan pengklasifikasian pada tipe atau jenis disinformasi/misinformasinya, dari total keseluruhan isu yang diverifikasi oleh Unit Kerja Jabar Saber Hoaks terurai menjadi tujuh tipe atau jenis hoaks – yaitu hoaks dengan jenis satire atau parodi, konten menyesatkan (misleading content), konten yang direkayasa (manipulated content), konten tiruan (imposter content), konteks yang keliru (false context), keterhubungan yang keliru (false connection), serta konten yang murni dipabrikasi alias fabricated content. (JSH)

*Penulis : Depi Agung Setiawan