Panggil Aku Kartini Saja

Dilihat: 533 kali
Jum'at, 09 Oktober 2020

Panggil Aku Kartini Saja


Begitulah Pramoedya menuliskan judul biografi Kartini yang bukan hanya kronologis-historis, namun juga berupaya memakanai seorang Kartini lewat pandangannya terhadap surat-surat yang ditulis Kartini sebagai bentuk pergulatan batin seorang wanita yang terkerangkeng oleh feodalisme Jawa di masa kekuasaan di bawah pemerintah Hindia – Belanda.

“Panggil Aku Kartini Saja”, ekspresi sekaligus penegasan perempuan untuk lepas dari belenggu keningratan. Dia, di mata Pram, lebih nyaman untuk dipanggil Kartini saja ketimbang memakai embel-embel Raden Ajeng, yang itu bertolak belakang dengan prinsip kebebasan seorang Kartini.

Kartini tidaklah cantik, hidungnya pun tidak mancung, meskipun berayah seorang Bupati Jepara R.M.A Sosrodiningrat, perlu ditegaskan kembali bahwa setengah garis keturunan Kartini berasal dari rakyat biasa, (kalau tidak dapat dikatakan jelata). Ibu Kartini adalah istri kedua dari Bupati tersebut bernama Ngarsiah (jika tidak dapat dikatakan sebagai istri simpanan), lain halnya dengan isteri pertama dari Bupati itu bernama Raden Ayu Sosroningrat. Sedangkan Bapak dari Ibu Kartini (Kakek Kartini) adalah Modorino, seorang mandor pabrik gula di Majong.

Sebagaimana dalam cerita biografi tersebut, bahwa sikap Kartini mempertegas bahwa dirinya bukanlah dari golongan feodalisme ningrat, meskipun lingkungan dirinya berada di lingkaran keningratan. Keagungan sosok Kartini bukan terletak pada keningratan seorang “Raden Ajeng” yang baginya pun risih.

Inilah barangkali yang menjadi menarik dari sosok Kartini. Beliau bertarung dengan kekakuan sebuah adat, ketidakadilan sebuah tradisi, dan dangkalnya cara pandang terhadap nilai-nilai manusia, yang menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua. Indikasinya, perempuan ningrat sekalipun tetap saja hanya menjadi pelengkap atau hiasan bagi lingkungan keningratan saja. Betapa tidak, mereka (para perempuan, baik ningrat maupun bukan) lahan aktualisasi dan eksistensinya hanya pada ruang domestik saja yang terpingit (Rumah tangga, dapur, keraajaan, istana, halaman perkarangan).

Kartini menggugah kesadaran keterbukaan manusia Indonesia, bahwa dirinya, sebagai perempuan, memiliki harapan mengaktulasasikan nila-nilai kemanusiaan untuk kehidupan secara leluasa pada ruang yang lebih luas (ruang publik). Ketidakleluasaan dan sempitnya ruang menanamkan benih keberanian untuk mengungkap keresahan hati, menceritakan apa yang terjadi pada dirinya dan lingkungan sekitarnya. Senjata kartini hanyalah carikan kertas dan pena. Beliau menulis begitu mengalir dengan bahasa yang santun dan lugas.

Hal ini dilakukan lewat korespondensi, saling mengirim surat ke beberapa orang yang sama-sama wanita yang menjadi teman penanya. Ada semangat yang timbul dari kecemburuan dirinya terhadap dunia eropa, di mana ia mempelajari dunia eropa tersebut hanya di sekolah rendahnya. Api semangat tak kunjung padam, atas dasar rasa ingin tahu yang tinggi dan gejolak dalam hati, ia pun menulis surat dengan tekun lalu menyampaikannya kepada pada sahabatnya seperti Ny. Vankol, Abandenon, dan Estelle Zeehandelaar, telah membuka cakrawala pengetahuan dunia luar.

Seperti jawaban Kartini kepada Estelle Zeehandeelar tentang kehidupan di lingkungan dirinya: “Kau tanyakan kepadaku, bagaimana keadaanku di antara empat dinding itu. Kau tentu pikir tentang sebuah sel atau semacamnya. Tidak Stella, sebuah pagar tembok tinggi mengelilinginya, dan pagar itulah yang mengurung aku. Betapa luas pekarangan itu, kalau orang harus terus tinggal di situ, menjadi sesak juga rasanya. Aku masing ingat, bagaimana dalam putus asa yang gelap-gulita itu badanku selalu kulemparkan pada pintu-pintu yang terkunci dan pada tembok dingin. Arah mana pun yang kutempuh, akhir dari perjalanan itu selalu saja tembok batu atau pintu terkunci.”

Salah satu cuplikan surat tersebut barangkali inspirasi yang melahirkan “Door deusternis toot Licht” nya Kartini, di mana kegelapan membelenggu dirinya untuk keluar dari jeratan pembatasan ketidaktahuan perempuan yang dianggap tabu untuk mengetahui kenyataan dunia dan pandangan terhadap nilai-nilai kehidupan perempuan.

Harapannya, eksistensi dan aktualisasi diri dalam ruang publik tidak lagi hadir secara patriarkis yang di sana hanya orang-orang yang kuat yang patut menguasainya, seperti halnya oleh kaum pria saja. Dalam hal ini, maskulinitas maupun feminitas bukan dalam arti fisiologis maupun biologis yang kemudian melahirkan dominasi pria atas wanita, melainkan bersifat kultural dan psikologis lewat proses ideologisasi, ia diciptakan oleh sejarah.

Setelah sekian lamanya perempuan berada dalam kegelap-gulitaan, sepantasnyalah bangkit untuk tidak hanya menunjukkan eksistensi, melainkan juga mewujudkan hak-haknya di ruang publik secara leluasa tanpa mengabaikan kodrat, martabat, serta harga diri manusia, dalam rangka mengkonstruksi kembali struktur budaya kesetaraan manusia. [Snd]