Bermedsos kadang bikin nggak Jentel bin Cemen

Dilihat: 504 kali
Senin, 14 September 2020


Bermedsos kadang bikin nggak jentel bin Cemen

Bro, dulu sebelum ada medsos kita suka pok torolong alias langsung menyampaikan sesuatu kepada orang yang kita maksud, face to face alias tatap muke.

Setelah kita nyaman dengan gawai, minta tolong satpam ngunciin pintu gerbang kantor aja musti pake WA, padahal si satpam 5 meter didepan kita, cuma terhalang sama kaca.

Minta tolong ambilin payung ajah mesti pake Line ke si Obe meskipun jelas2 tuh orangnya ada di ruang sebelah yang kepisah sekat papan doang.

Begitulah cuy, pada giliranya kita bisa menganggap hal itu menjadi praktis, mengurangi gerak tubuh alias olah bodi, "menghemat" jalan kaki, dan effort2 lainnya tanpa harus mengurangi cemilan dan dan memborong makanan tambahan yang dipesan via si mamang onlen.

Cuy, terpikirkan nggk kalo si WA yang bikin praktis dan si medsos membuat kita "efesien" itu secara nggk sadar telah mengurangi aktifitas dan memangkas gerak yang sebelumnya otot badan kita nggk kaku alias luwes?

Bro, kepikiran nggk bahwa apa2 mesti pake gawai yang onlen itu - seolah- kita terfasilitasi oleh kecanggihan tersebut, padahal sekaligus kita menjadi tergantung pada dirinya? Yang paling gaswat kalo si medsos itu dah jadi candu, sakau yang kalo dalam satu hari nggak berkoneksi, serasa gimana gitu. Atau bisa-bisa kita menuhankannya karena menganggapnya sakral.

Tapi ada dikit benarnya juga Bro, bahwa ketergantungan manusia Indonesia terhadap koneksi internet itu rada lumayan erat, se-erat tali cinta kita pada si Yayang. Dikala APJII bikin survey penetrasi pengguna internet di Indonesia di tahun 2018 saja, dalam satu hari rata-rata orang menggunakan internet lebih dari 1 – 2 jam (13%), lebih dari 2 – 3 jam (13,4%), dan lebih dari 3 – 4 jam (14,1%). Bayangin aja cuy, meskipun persentasenya cuman 14,1, tapi si mereka bisa manteng berkoneksi internet 3 ampe 4 jam sehari, setara lama perjalanan dari satu kota ke kota lain. Apa nggk mabuk jika tiap hari perjalanan dari kota ke kota selama empat jam?

Cuy, betul pisan kalo medsos dan aplikasi percakapan itu memudahkan kita berkomunikasi, mulai dari urusan yang formal, serius, berduit, ampe urusan cuap cuap basa basi busa budah doang. Debat kusir tanpa kusir pun kerap menjadi arena unjuk adu mulut di ruang medsos dan WA, yang hanya cukup memainkan kepiawian (ditambah nafsu) dua jari doang seraya nggak nyadar bahwa jempol kita sangat tajam, setajam mata pedang dan pisau yang akan menusuk hati siapa saja.

Cuy, Bro, kita berani ngadu pendapat di medsos, saling menyalahkan dan mengganggap diri paling benar, lantaran mungkin kita nggk peduli lawan adu mulutnya itu tinggalnya dimana atau nun jauh di sana, di luar pulau atau beda propinsi, terasa enjoy saja nggk negerasa salah, keliru, palagi berdosa, serasa entah Tuhan ada dimana.

Kadang adu mulut parea-rea omong di medsos bergitu agresif, saling menyerang-menjatuhkan, menunjukkan superioritas lewat dominasi atas orang lain, tanpa memperhatikan sebenarnya apa nilai kabaikan-kebenaran, dan siapa yang diajak bicara-berantem itu. Bisa saja orang yang lebih tua, setara, lebih muda, guru sekolah, tukang parkir, guru ngaji, ustad, tukang tambal ban,  atau kuli bangunan, yang tentu saja berisiko merusak identitas sosial dan kewibawaan manusia.

Bro, dalam sebuah percakapan grup WA atau disingkat WAG, kerap tuh kejadian adu cingcong. Di WAG tersebut bisa ampe tempetarurnya pada eskalasi suhu yang derajatnya sepanas sapi demam tinggi. Terkadang di awali lempar sindiran plus nyenggol dikit-dikit, lalu diperkental dengan nyinyiran, sampai pada kosa kata liar kebun….pun meluap-luap.

Ada juga situasi yang nggk berani ngelempar batu di grup, padahal si dia tuh nenes banget pengen nyuit nyubit nampol di grup tapi takut kena timpuk balasan, lalu dicurcorin lah rasa nenes-keselnya itu di belakang WA grup, japri kepada orang lain bahwa si anu itu bla…bla…bla… si anu bli…bli…bli…..pokoknya euggghhhh….deh! plus dibumbuin cabe biar berasa pedas.

Situasi medan sengit tempur di grup WA tersebut, yang jika dilakukan luring berjam’aah alias kopi darat dalam satu tempat, terkadang menjadi ciut, tidak berani sengotot-agresif seperti lalu lintas ganas di WA grup. Terkesan tidak banyak bicara, menjadi kaku, jaim, atau (paling bahaya) pura-pura tidak merasakan apa-apa.

Alhasil, terkadang bermedsos membuat kita nggk jentel bin cemen.

Media Sosial, definisi pendek yang ngasal tanpa teori, merupakan sebuah media untuk bersosial, di dalamnya ada tindakan komunikatif dan interaktif. Dalam ulasannya Sindhunata di Majalah Basis, 07-08, 20202, bahwa tujuan tindakan komunikatif untuk mencapai ke-saling mengerti-an, namun saling mengerti di sini bukan pula dalam bentuk kompromi, lantaran kompromi menurut Habermas-seorang jagoan komunikasi asal Jerman-, merupakan upaya komunikasi yang lemah, yang terkadang -saya tambahkan- dalam sebuah kompromi suka ada tawar menawar, nego, alias transaksi, cuy!

Bro, tanda-tanda bahwa dalam sebuah percakapan alias tindakan komunikatif terdapat ke-saling-mengerti-an, paling tidak di sana masing-masing dapat diuntungkan, alias tidak ada yang dibuntungkan. Ke-saling-mengerti-an kata Pak Sindhu, merupakan kerja keras rasio, artinya kebenaran dan kebaikan sosial yang diutamakan plus dikedepankan, bukan lagi soal menang-kalah, menang-menangan, atau banyak-banyakan. (snd-jsh)

Bandung, 15 Juli 2020