Membiasakan menghadapi keterbatasan dengan menghadirkan keceriaan dan semangat, akan menguburkan kekalahan pada kenyataan. Namun jika perasaan mengalah itu terus menerus menyelimuti diri, kekalahan akan semakin menjadi-jadi. Baginya, hidup itu campuran perasaan dan kenyataan.
Jika perasaan terlalu banyak, ia akan buta terhadap kenyataan dan tenaga untuk mengubah semakin redup, pertahanan diri menghadapi kenyaataanpun menjadi rapuh.
Siasat hidup selalu muncul jika otak terus diputar. Itulah yang dilakukan oleh si Nenek tua yang ditemani oleh serba kekurangan hidupnya - dalam pandangan normalnya orang berada.
Namun kebiasaan dalam menghadapi keterbatasan akan memupus keterbatasan itu sendiri, seolah kata terbatas menjadi sirna. Bagaimana dia hidup cerdas dalam keadaan miskin. Kalau hidup cerdas dalam keadaan kaya tak usah ditanya, atau betapa sialnya hidup bodoh dalam keadaan kaya raya.
Kecerdasan bukan soal kaya atau tidak, bukan soal muda maupun tua, pria atau wanita, namun soal kemauan mengolah akal dan jiwa.
Seorang nenek tua itu selalu mengikatkan magnet di kakinya dikala hendak berjalan kemanapun agar supaya sisa-sisa paku, besi, lempengan pecahan besi, kaleng-kaleng kosong yang terbuang di jalanan tertarik sampai dapat dikumpulkan untuk dijual kemudian menjadi uang. Uang yang didapat tak seberapa namun bisa untuk makan sehari-hari. Langkah kakinya pun berbunyi klang... klung... Klang...klung oleh nyaringnya bunyi kaleng beradu paku.
Si nenek pun tak susut akal berhenti di magnet kaki, memasang jaring dikali untuk menjaring sampah-sampah yang terbuang dari pasar. Ada sayuran yang menyangkut kemudian dipungut dan masih segar sayuran itu dan masih layak untuk dimasak. Ada buah-buahan yang sudah buruk setengahnya, dan setengahnya masih layak untuk dimakan. Si nenek menyebutnya sungai itu supermarket yang banyak sampahnya namun masih banyak yang dapat dimakan.
Tidak hanya makanan yang menyangkut, barang rongsokanpun tak luput ikut menyangkut dan diangkut kemudian dijual. Air sungaipun menjadi tersaring dan tidak kotor. Begitu dia bilang.
Hiroshima dibom pada waktu perang dunia, meluluhlantahkan kehidupan keluarga si cucu. Dan si cucupun hidupnya dititipkan untuk diurus oleh neneknya. Sang Ayah yang entah kemana kabarnya apakah masih ada atau tiada, lantaran sisa bom atom itu menyebarkan racun merenggut nyawa manusia.
Dia selalu mengenyahkan keterbatasan dan menyembunyikan perasaan kalah terhadap kenyataan. Menyembunyikan rasa lapar dan dahaga. "Ah, lapar itu perasaan mu saja, nak". Kilahnya pada cucunya yang padahal jelas-jelas dari pagi si cucu memang belum makan. Maka satu-satunya jalan yang harus dikurangi untuk menghilangkan lapar adalah perasaan.
Hidup baginya adalah tentang bagaimana menghadapi kenyataan dan mengalahkan perasaan kalah dan lemah. Pun dalam menghadapi cucunya, menumbuhkan rasa percaya diri dalam situasi yang jomplang dan timpang.
Sebuah alur yang sudah ketahuan titik klimaks dan endingnya. Namun dinamika klimaks dan endingnya itu yang mengundang rasa kesan, kagum, haru, serta simpati. Mengolah rasa kesan menyehatkan jiwa dan pikiran. Mengolah rasa kagum melahirkan pelajaran bagaimana menghadapi soal hidup. Mengolah rasa simpati mengalahkan sikap mengutamakan dan mementingkan diri sendiri.
Haurpugur, Desember 2019