Bonus Demografi dan krisis literasi

Dilihat: 715 kali
Kamis, 09 Juli 2020

Bonus Demografi dan krisis literasi


Perbekalan kita tidak cukup, meskipun harga perbekalan itu tidaklah mahal. Perbekalan itu bukan berupa harta benda, materi, atau kekayaan yang mumpuni, melainkan kualitas pengetahuan dan kualitas kesadaran kritis kita melihat potensi diri, membaca persoalan, serta mencermati peluang ke depan, kualitas imajinasi, serta bangunan realitas apa yang akan ditampilkan pada masa yang akan datang. Pendek kata, sebuah cita-cita.

Kita -katanya- diproyeksian akan mengalami ledakan bonus  demografi dimana pada tahun-tahun yang akan datang  akan banjir  usia produktif (secara fisik-balig) yang dominan usia muda. Ledakan demografi tentu menjadi peluang menguntungkan, usia muda belum dikatakan produktif jika tidak dibekali dengan kecakapan dan kemampuan mengendalikan diri.

Perbekalan hari ini untuk menyongsong bonus demografi itu cukup memprihatinkan. Literasi merupakan bekal yang mudah dan murah. Literasi tidak hanya dipahami sebagai kemampuan membaca aksara (tidak buta huruf). Literasi, hari ini, menghadapi eskalasi tantangan yang tinggi, karena liertasi hari ini bukan hanya pada kemampuan membaca, melainkan kebiasaan membaca dengan cermat dan seksama terhadap berbagai bahan bacaan atau infomasi baik itu buku, media, dan bentuk-bentuk informasi lain yang lebih kompleks atau yang kita kenal sebagai industri informasi 4.0.

Indeks Aktifitas Literasi Membaca saja (ALIBACA) di Indonesai berada di level yang rendah. Jauh dari itu, hanya beberapa provinsi yang memiliki nilai Indeks Literasi Membaca di level sedang (artinya belum ada nilai indeks di level tinggi), selebihnya di level rendah dan lebih rendah (Indeks Alibaca, 2019).

Yang sangat memukul kita, kaitannya dengan ledakan bonus demografi  yang akan datang, adalah laporan dari PISA tahun 2018, sebuah survey tentang performa membaca di usia sekaloah, dimana Indonesia berada di level yang rendah. Lantas seperti apa kita akan menyambut dan menyongsongnya realitas usia produktif ke depan?

Salah satu perbandingan antara keharusan ketersediaan layanan sumber informasi berupa taman baca dalam rasio per seribu orang harus ada satu taman bacaan di masyarakat, masih jauh panggang dari api. Secara keseluruah persentase ketersedaian sumber bacaan dan informasi baik perpustakan sekolah, daerah, umum, dan taman bacaan baru mencapai 20% saja.

Hadirnya internet dan smartphone sebagai penanda industri informasi 4.0. menjadi variabel penguat pada dimensi alternatif dan dimensi akses, yang pada dasarnya jumlah sumber informasi dan bacaannya lebih kaya dan beragam. Jumlah pengguna internet 171 juta di Indonesia (APJII, 2018) bukanlah jumlah yang sedikit, nyaris separuhnya dari total penduduk Indonesia yang sebetulnya membantu mempermudah dalam mengganti sumber-sumber bacaan buku fisik (e-book, e-library, dan lain-lain).

Persoalannya yang kemudian muncul, sejauhmana masyarakat memperlakukan internet sebagai instrumen literasi manusia agar menjadi makhluk yang literatif (snd).