Buli: Jalan Ampuh supaya Lumpuh
Catatan lawas ini mengingatkan saya pada
persoalan “buli membuli” dalam skala yang lebih besar, terlihat seperti terencana
dalam percaturan hubungan internasional.
Buli, bagi saya tidak hanya berupa ejekan, atau nyinyaran secara personal. Menciptakan narasi stigma terhadap sebuah bangsa merupakan bentuk pembulian yang dahsyat. Buli lewat stigmatisasi, melahirkan mentalitas superior sekaligus inferior.
Dua jam perjalanan dari Bandung ke
Cirebon kami habiskan dengan canda dan tawa kemana-mana sampai mengerucut jadi
obrolan warkop yang multi topik. Dia, dengan ragam pengalaman wara wiri sampai
melintas luar negeri, bisa jadi sekedar menyampaikan informasi saja, namun
menjadi hal yang inspiratif bagi saya untuk melihat lalu lintas di luar, tidak
melulu melihat kedalam soal bagaimana keadaan di lingkungan sekitar, tetangga,
daerah, atau Indonesia saja.
Dia yang terpaut usianya hampir tiga
tahun di bawah saya, omongannya sudah seperti 40 tahun ke atas, ditambah dengan
kumis dan jambang menghiasi raut wajahnya yang agak hitam, mukanya terkesan
boros padahal usianya saya anggap masih anak-anak.
Rasa apresiasi tinggi saya pendam dalam
hati karena dua sebab, pertama khawatir jika terlalu memuji terkesan lebay
menjadi gengsi, kedua gengsi yang secara usia terpaut jauh di bawah saya. Salah
saya sendiri kenapa pula menanyakan usia, padahal kesan pertama muncul ketika
bersalaman di dalam mobil, usianya tidak jauh dari paman saya.
Perbedaan usia selalu menjebak saya yang
selalu dihubungkan dengan sejauh mana pengalaman dan pergaulan seseorang.
Perbedaan usia melahirkan junioritas dan senioritas, dan subordinasi ada di
sana. Karena junior maka jadi bawahan, lantaran senior menjadi atasan. Karena
senior maka saya yang lebih tahu-berpengalaman, dan sebaliknya. Padahal secara
tidak sadar, banyak temuan yang diperoleh dari anak saya menjadi sumber
pengetahuan dan pembelajaran, tidak terbesit dalam pikiran bahwa anak saya
adalah junior.
Dialek Acehnya kental, sesekali melontarkan istilah asing dengan fasih. Semakin banyak membaca (baik itu buku maupun persoalan dan situasi) dan bergaul, semakin bijak dalam bernalar, proporsional dalam menempatkan dirinya ketika berargumen. Ketika kita membaca situasi dari kanan dan kiri, dari depan dan belakang, semakin kita bisa menempatkan diri pada posisi di tengah, kurang lebih seperti itu ujarnya.
Saya harus membiasakan diri untuk
bertemu dengan orang seperti dia, supaya tidak lebay dan gengsi, tapi
persoalannya tidak mudah juga untuk menjumpai orang-orang seperti ini. Rupanya
bukan hanya jumlah jam terbang yang dimiliki, keasyikan dan hobinya pun mondar
mandir masuk perpustakaan, membaca buku, mulai dari perpus yang ada di Jakarta,
nyinggung-nyniggung soal Museum Louvre di Perancis, Perpus Turki, sampai pada
Perpus Leiden di Belanda.
Soal budaya timur tengah dia kupas
sampai pada klasifikasi detail sebaran suku dan ras yang ada di sana, Arab yang
secara ras berbeda dengan Iran, berbeda pula dengan Yordan, dan berbeda pula
dengan India. Kemudian Jerman yang berbeda dengan Inggris yang sementara di
Inggris pun dipecah pula sebaran-sebaran budaya dan tatanan politiknya.
Begitupun dengan kita Indonesia yang sebagian Melayu sebagian lagi Non
Melayu.
Soal pertarungan dan monopoli ekonomi
global yang dalam pandangan dan sepengetahuannya dengan meyakinkan diri,
ternyata didunia ini dikendalikan hanya tujuh orang atau kelompok diantaranya
Rockefeller, Soros, dan saya lupa lagi tidak terekam siapa yang 3-7 nya.
Sebagian besar aset yang ada di Amerika adalah bangsawan Inggris plus Yahudi,
dan yang memegang kendali pergolakan dan pemberontakan terjadi di Timur Tengah
itu semua, mainannya mereka yang tujuh orang itu. ISIS itu mainan dan bonekanya
mereka, termasuk di kita, banyak boneka-boneka yang sebetulnya mereka
kendalikan dan disimpan di posisi politik-ekonomi strategis, alasannya bukan
lagi soal ideologi melainkan soal perut alias duit dalam bahasa kerennya
neolib.
Kepala saya pening.....
(inikah pelajaran
hubungan iternasional?)
Dia menjabarkan dengan melebar gamblang
seakan-akan apa yang terjadi di sana dan di sini tak lepas dari intrik politik
dan konspirasi global. Ini semuanya gara-gara buli, ujarnya. Mereka dengan
sengaja mengendalikan percaturan global dengan membuli.
Mengembangbiakan peperangan dengan menciptakan ISIS sebagai boneka untuk menciptakan stigma bahwa di Timur Tengah yang kaya dengan ladang minyak tersebut tidak aman, tidak nyaman, kurang sejahtera, saling berebut dengan meyelipkan label ideologi atau agama sebagai alasan peperangan. Pun yang terjadi di Afrika, ketika mentok disusupi dengan peperangan karena barangkali integrasi Afrika tidak selemah Timur Tengah, maka diciptakan pem-buli-an dengan tema AIDS, ini yang kemudian melahirkan stigma Afrika sebagai sarangnya penyakit AIDS. Pun dengan Cina, ketika disusupi dengan perang tidak memungkinkan, dengan monopoli dagang susah masuk, lewat opium sangat memungkinkan, dengan demikian Cina menjadi sarang dan lalu lintas perdagangan narkotik.
Lantas bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia tidak perlu dibuli dengan
peperangan, tidak usah lewat AIDS, tidak perlu dengan operasi opium, toh sudah
merasa inferior kok di mata mereka. Bangsa Indonesia sudah silau dengan bangsa
mereka yang merasa kelas pertama, sementara Bangsa Indonesia sudah nyaman
menjadi bangsa kelas kedua. Buktinya sederhana kok, kita kalau melihat turis
bule cewek agak cantik, suka melotot tepelongo, mata kita melirik nyaris 180
derajat. Berbeda dengan ketika melihat gadis sukabumi yang putih, ayu, manis,
ketika lewat di depan mata kita, hanya 90 derajat mata kita melirik.
Kita merasa wah ketika ketemu dengan si bule, malah kalau perlu difoto bareng lalu diupload dengan status, nih gue lagi ama bule (padahal kenalpun tidak, ngerti ngomong pun belum tentu). Dan melihat luar negeri itu (apalagi eropa dan amerika) sebuah negeri waw yang dibandingkan dengan negeri kita tidak ada apa-apanya. Makanya sebagian orang kita ketika berlibur ke luar negeri merasa super bangga, nih gua lagi touring ke Singapura, Eropa, Amerika sambil menunjukkan fotonya di medsos.
Padahal niat si bule berkunjung ke Indonesia hanya ingin berjemur di Bali kok, mereka iri dengan kulit kita yang sawo matang dengan kadar pigmen sangat normal, di mata mereka kulit kita sangat sempurna. Ke-bule-an kulit mereka ternyata menunjukkan rasa tidak percaya diri tinggi dan perlu dijemur di Bali berhari-hari bahkan bermingu-minggu, dan sementara kita justeru super kagum terhadapnya.
Rasa inferior kita sudah dipupuk dan
ditanam sekian ratus tahun lewat penjajahan Belanda yang dibelakangnya ada
Inggris yang tergabung dalam sekutu. Ketidakpercayaan diri sudah terdidik lewat
pem-buli-an bahwa bangsa kita adalah bangsa budak dan kuli yang terjajah, hanya
cukup disuruh-suruh, manggut-manggut menunggu arahan dan petunjuk.
Ini yang menggerus nalar dalam menggali
dan mengeksplorasi potensi dan budaya Indonesia kita, padahal betapa tinggi
nilai dan produk budaya kita dengan diversitasnya. Batik Trusmi saja sebagai
batik unggulan cirebon pantura dengan pola mega mendung sebagai motif khasnya,
sudah menggaung di internasional, menjadi perbincangan di Museum Louvre
Perancis, menjadi dokumen budaya di Perpustakan Leiden Belanda, dan menjadi
perdebatan klaim oleh Turki karena motifnya mirip dengan peninggalan yang ada
di Turki, dan ini barangkali yang harus dikaji lebih jauh soal apakah ada (dan
bagaimana jika ada) relevansinya lalu lintas sejarah Batik Trusmi dengan
Turki.
Konflik peperangan, penyebaran isu
penyakit, penjajahaan, ekonomisasi neolib, dan seterusnya adalah jalan untuk
monopoli. Stigmatisasi atau buli adalah tujuan akhir yang ampuh membuat kita
lumpuh.
Bandung, 9 September 2020