Buli: Jalan Ampuh supaya Lumpuh

Dilihat: 497 kali
Rabu, 09 September 2020


Buli: Jalan Ampuh supaya Lumpuh

Catatan lawas ini mengingatkan saya pada persoalan “buli membuli” dalam skala yang lebih besar, terlihat seperti terencana dalam percaturan hubungan internasional.

Buli, bagi saya tidak hanya berupa ejekan, atau nyinyaran secara personal. Menciptakan narasi stigma terhadap sebuah bangsa merupakan bentuk pembulian yang dahsyat. Buli lewat stigmatisasi, melahirkan mentalitas superior sekaligus inferior.  

Dua jam perjalanan dari Bandung ke Cirebon kami habiskan dengan canda dan tawa kemana-mana sampai mengerucut jadi obrolan warkop yang multi topik. Dia, dengan ragam pengalaman wara wiri sampai melintas luar negeri, bisa jadi sekedar menyampaikan informasi saja, namun menjadi hal yang inspiratif bagi saya untuk melihat lalu lintas di luar, tidak melulu melihat kedalam soal bagaimana keadaan di lingkungan sekitar, tetangga, daerah, atau Indonesia saja. 

Dia yang terpaut usianya hampir tiga tahun di bawah saya, omongannya sudah seperti 40 tahun ke atas, ditambah dengan kumis dan jambang menghiasi raut wajahnya yang agak hitam, mukanya terkesan boros padahal usianya saya anggap masih anak-anak. 

Rasa apresiasi tinggi saya pendam dalam hati karena dua sebab, pertama khawatir jika terlalu memuji terkesan lebay menjadi gengsi, kedua gengsi yang secara usia terpaut jauh di bawah saya. Salah saya sendiri kenapa pula menanyakan usia, padahal kesan pertama muncul ketika bersalaman di dalam mobil, usianya tidak jauh dari paman saya. 

Perbedaan usia selalu menjebak saya yang selalu dihubungkan dengan sejauh mana pengalaman dan pergaulan seseorang. Perbedaan usia melahirkan junioritas dan senioritas, dan subordinasi ada di sana. Karena junior maka jadi bawahan, lantaran senior menjadi atasan. Karena senior maka saya yang lebih tahu-berpengalaman, dan sebaliknya. Padahal secara tidak sadar, banyak temuan yang diperoleh dari anak saya menjadi sumber pengetahuan dan pembelajaran, tidak terbesit dalam pikiran bahwa anak saya adalah junior. 

Dialek Acehnya kental, sesekali melontarkan istilah asing dengan fasih. Semakin banyak membaca (baik itu buku maupun persoalan dan situasi) dan bergaul, semakin bijak dalam bernalar, proporsional dalam menempatkan dirinya ketika berargumen. Ketika kita membaca situasi dari kanan dan kiri, dari depan dan belakang, semakin kita bisa menempatkan diri pada posisi di tengah, kurang lebih seperti itu ujarnya. 

Saya harus membiasakan diri untuk bertemu dengan orang seperti dia, supaya tidak lebay dan gengsi, tapi persoalannya tidak mudah juga untuk menjumpai orang-orang seperti ini. Rupanya bukan hanya jumlah jam terbang yang dimiliki, keasyikan dan hobinya pun mondar mandir masuk perpustakaan, membaca buku, mulai dari perpus yang ada di Jakarta, nyinggung-nyniggung soal Museum Louvre di Perancis, Perpus Turki, sampai pada Perpus Leiden di Belanda. 

Soal budaya timur tengah dia kupas sampai pada klasifikasi detail sebaran suku dan ras yang ada di sana, Arab yang secara ras berbeda dengan Iran, berbeda pula dengan Yordan, dan berbeda pula dengan India. Kemudian Jerman yang berbeda dengan Inggris yang sementara di Inggris pun dipecah pula sebaran-sebaran budaya dan tatanan politiknya. Begitupun dengan kita Indonesia yang sebagian Melayu sebagian lagi Non Melayu. 

Soal pertarungan dan monopoli ekonomi global yang dalam pandangan dan sepengetahuannya dengan meyakinkan diri, ternyata didunia ini dikendalikan hanya tujuh orang atau kelompok diantaranya Rockefeller, Soros, dan saya lupa lagi tidak terekam siapa yang 3-7 nya. Sebagian besar aset yang ada di Amerika adalah bangsawan Inggris plus Yahudi, dan yang memegang kendali pergolakan dan pemberontakan terjadi di Timur Tengah itu semua, mainannya mereka yang tujuh orang itu. ISIS itu mainan dan bonekanya mereka, termasuk di kita, banyak boneka-boneka yang sebetulnya mereka kendalikan dan disimpan di posisi politik-ekonomi strategis, alasannya bukan lagi soal ideologi melainkan soal perut alias duit dalam bahasa kerennya neolib.

Kepala saya pening.....

(inikah pelajaran hubungan iternasional?)

Dia menjabarkan dengan melebar gamblang seakan-akan apa yang terjadi di sana dan di sini tak lepas dari intrik politik dan konspirasi global. Ini semuanya gara-gara buli, ujarnya. Mereka dengan sengaja mengendalikan percaturan global dengan membuli. 

Mengembangbiakan peperangan dengan menciptakan ISIS sebagai boneka untuk menciptakan stigma bahwa di Timur Tengah yang kaya dengan ladang minyak tersebut tidak aman, tidak nyaman, kurang sejahtera, saling berebut dengan meyelipkan label ideologi atau agama sebagai alasan peperangan. Pun yang terjadi di Afrika, ketika mentok disusupi dengan peperangan karena barangkali integrasi Afrika tidak selemah Timur Tengah, maka diciptakan pem-buli-an dengan tema AIDS, ini yang kemudian melahirkan stigma Afrika sebagai sarangnya penyakit AIDS. Pun dengan Cina, ketika disusupi dengan perang tidak memungkinkan, dengan monopoli dagang susah masuk, lewat opium sangat memungkinkan, dengan demikian Cina menjadi sarang dan lalu lintas perdagangan narkotik. 

Lantas bagaimana dengan Indonesia? 

Indonesia tidak perlu dibuli dengan peperangan, tidak usah lewat AIDS, tidak perlu dengan operasi opium, toh sudah merasa inferior kok di mata mereka. Bangsa Indonesia sudah silau dengan bangsa mereka yang merasa kelas pertama, sementara Bangsa Indonesia sudah nyaman menjadi bangsa kelas kedua. Buktinya sederhana kok, kita kalau melihat turis bule cewek agak cantik, suka melotot tepelongo, mata kita melirik nyaris 180 derajat. Berbeda dengan ketika melihat gadis sukabumi yang putih, ayu, manis, ketika lewat di depan mata kita, hanya 90 derajat mata kita melirik. 

Kita merasa wah ketika ketemu dengan si bule, malah kalau perlu difoto bareng lalu diupload dengan status, nih gue lagi ama bule (padahal kenalpun tidak, ngerti ngomong pun belum tentu). Dan melihat luar negeri itu (apalagi eropa dan amerika) sebuah negeri waw yang dibandingkan dengan negeri kita tidak ada apa-apanya. Makanya sebagian orang kita ketika berlibur ke luar negeri merasa super bangga, nih gua lagi touring ke Singapura, Eropa, Amerika sambil menunjukkan fotonya di medsos. 

Padahal niat si bule berkunjung ke Indonesia hanya ingin berjemur di Bali kok, mereka iri dengan kulit kita yang sawo matang dengan kadar pigmen sangat normal, di mata mereka kulit kita sangat sempurna. Ke-bule-an kulit mereka ternyata menunjukkan rasa tidak percaya diri tinggi dan perlu dijemur di Bali berhari-hari bahkan bermingu-minggu, dan sementara kita justeru super kagum terhadapnya.

Rasa inferior kita sudah dipupuk dan ditanam sekian ratus tahun lewat penjajahan Belanda yang dibelakangnya ada Inggris yang tergabung dalam sekutu. Ketidakpercayaan diri sudah terdidik lewat pem-buli-an bahwa bangsa kita adalah bangsa budak dan kuli yang terjajah, hanya cukup disuruh-suruh, manggut-manggut menunggu arahan dan petunjuk. 

Ini yang menggerus nalar dalam menggali dan mengeksplorasi potensi dan budaya Indonesia kita, padahal betapa tinggi nilai dan produk budaya kita dengan diversitasnya. Batik Trusmi saja sebagai batik unggulan cirebon pantura dengan pola mega mendung sebagai motif khasnya, sudah menggaung di internasional, menjadi perbincangan di  Museum Louvre Perancis, menjadi dokumen budaya di Perpustakan Leiden Belanda, dan menjadi perdebatan klaim oleh Turki karena motifnya mirip dengan peninggalan yang ada di Turki, dan ini barangkali yang harus dikaji lebih jauh soal apakah ada (dan bagaimana jika ada) relevansinya lalu lintas sejarah Batik Trusmi dengan Turki. 

Konflik peperangan, penyebaran isu penyakit, penjajahaan, ekonomisasi neolib, dan seterusnya adalah jalan untuk monopoli. Stigmatisasi atau buli adalah tujuan akhir yang ampuh membuat kita lumpuh. 

Bandung, 9 September 2020