Petay

Dilihat: 712 kali
Jum'at, 09 Oktober 2020

Petay


Baron, sebuah bisokop tua, gedung lusuh namun di sanalah tempat untuk meneduh, menatap layar lebar. Baron, sebuah tempat beratap persegi panjang, cukup untuk menampung ratusan penonton dengan duduk dibangku kayu tua bergelap-gelapan, sesekali pantat gatal digigit kutu kayu yang jika kutu itu dimatikan dengan kuku, menyibak aroma bau tak sedap.

Seingatku ada balkon yang hanya cukup untuk puluhan orang saja, dengan tangga kayu reyot dipojok untuk menaikinya ke atas, satu persatu dan antri. Dan jika tak salah, agar dapat duduk di balkon harus bayar tambahan sekian rupiah.

Beberapa menit sebelum film diputar, penonton sudah memadati barisan tempat duduk kayu yang tanpa sandaran. Lampu bioskop masih nyala putih dengan neon lilin panjang di atap dan dipinggir tembok gedung.

Satu persatu penonton masuk pintu kecil melewati lorong gelap dengan bau keringat bercampur pesing menyibak di sana sini. Kecoa hitam saling berlari, memojok di sudut tembok, di belakang papan kayu pintu WC. Ada yang iseng membawa keresek hitam yang seolah sudah tertiup dengan balon, merangsek ke tengah sesaknya tempat duduk para penonton, lalu dibuklah kantong keresek itu dengan sembunyi-sembunyi, semerbak mewangi bau kentut mengudara nyesak seisi ruangan. Dia yang sengaja menyimpan kentutnya ke dalam kantong plastik dan diledakaan secara halus ditengah keriuhan.

Di belakang Baron ada pasar yang riuh-ramai pedagang dan pembeli beradu tawar harga. Mulai dari bawang, gula, beras, minyak kelapa, minyak tanah, sampai pada panci, ember, dan katel, segala kebutuhan dapur  ada di sana.

Petay: Cepe Ngantay. “Ngantay” artinya -kurang lebih- mengantri. Orang yang mau menonton ke Bioskop Baron membayar seratus rupiah dan mengantri. Cepe, sebuah penanda yang di saat itu menjadi standar hitungan pembayaran yang tidak begitu mahal namun mengandung nilai tukar jasa, seratus rupiah, perlu pengorbanan untuk mendapatkan si Cepe. Para kuli memasang tarif jasanya untuk mengangkut karung barang dagangan dari pasar ke jalan raya dengan membayar ongkos cepe rupiah. Cepe, menjadi penanda bagi para Pak Ogah yang menjadi calo angkot atau tukang parkir kampungan.

Petay adalah simbol bagi mereka para remaja yang kurang piknik namun dengan kadar bajet pas-pasan dapat menikmati dan merasakan hiburan tontonan layar lebar. Ada film lokal aksi laga si Beriprima dan Adven Bangun, atau film horror si Susan cantik Nyai Roro Kidul yang dikocaki oleh si Bokir yang cengengesan dan penakut. Aksi komedi Warkop Dono, Kasino Indro dengan taglinenya yang khas: “ah…..elu ndro…!”.  Atau kisah cinta yang bertaut dengan nada, yang di setiap akan berkelahi selalu menendangkan lagu dangdutnya sambil mendesah: “Rika…rika…!”, film Rhoma Irama, “Gitar Tua”. Tak ketinggalan pula film India yang penuh dramatis, kaya adegan konflik dan cinta menjadi idaman para kaum remaja yang ditunggu-tunggu.

Judul-judul film tersebut beberapa hari sebelum diputar, diiklankan terlebih dahulu menggunakan mobil tua sambil menyebarkan pamlflet berisi gambar. Si mobil blusukan ke kampung-kampung sambil berteriak dengan menggunakan toa pengeras suara. Spanduk kain menutupi sebagian tubuh si mobil supaya daya tarik iklan melekat di sana, ada istilah yang masih lekat dalam ingatan saya ketika mobil itu menyebarkan iklan filmnya, yakni :”Wawar”.

“Wawar” merupakan publikasi dengan instrumen iklan berupa pamflet kertas warna-warni tapi bertinta hitam. Dilempar-buangkan lembaran kertas pampflet tersebut lewat jendela mobil yang berjalan setengah pelan. Dan saya bersama yang lainnya, bocah ingusan, berlarian membututinya, memunguti kertas pampflet tersebut.

“Petay” menjadi kosa kata yang trend pada jamannya, adalah penanda yang dominan para kawula muda di jamannya. Ungkapan gaul dengan bahasa kampungannya. Dari padanya memendam makna wisata bagi yang tak punya akses hiburan ke kota.

Kemudian sepanduk kain selebar baligo menjadi etalase iklan dinding Baron si Bioskop tua, berisi tentang judul dan jadwal pemutaran. Di dalam Bisokop Baron, kegaduhan dan keriuhan laykanya sebuah pasar, sauara norak memekik dari bangku penonton petanda kesal atau mengejek adegan si penjahat. Ketawa terbahak-bahak cekakak-cekikik, seolah terpingkal-pingkal, betapa tak kuatnya perut menahan tawa melihat adegan konyolnya Si Dono dan kawan-kawan.

Film pun berakhir, penonton bubar meninggalkan si Baron keluar lewat pintu gerbang kayu depan. Si Baron kini termenung dengan kesendirian dan ditinggal oleh penggemarnya. Si Baron pun lambat laun menjadi redup kehilangan rohnya, pelan-pelan dilumat oleh lahirnya kecanggihan alat, kemudahan akses, kemurahan biaya, dan “kepraktisan-kepraktisan” dalam mendapatkan tontonan, yang itu semua syarat mengandung pesan monopoli industri dan ekonomi hiburan.

Lalu “Petay” pun menjadi dongeng yang terlupakan. (Snd)

Bandung, 24 Oktober 2016