Petanda Petaka Dunia Anak Di Dunia Maya
Paradoks Industri 4.0
Seiring dengan lompatan percepatan pertambahan penggguna internet dari tahun ke tahun, hasil studi yang dilakukan Badan Pusat Statistik menggambarkan dinamika angka yang cukup miris sekaligus mengkhawatirkan, dari tahun 2010-2014 sebanyak 80 juta anak telah mengakses (terpapar) konten pornografi online.
Tahun 2018 menurut survey APJII, penggguna internet di Indonesia sebanyak 171 juta, dimana usia remaja dan anak mendominasi dalam penggunaan internet terutama lewat perangkat smart phone atau gawai.
Usia anak menurut Konvensi Hak Anak adalah usia di bawah 18 tahun. Mereka masih perlu pengasuhan yang layak termasuk perlindungan dari orang dewasa, baik itu orang tua, masyarakat, maupun pemerintah, termasuk perlindungan dari informasi yang berdampak terhadap resiko degradasi sosial dan moral bagi keselamatan anak.
Sementara beberapa media sosial, hari ini, menjadi kanal mainstream (yang bersifat konvergensi) untuk mengakses sekaligus memproduksi informasi. Kanal medsos tersebut menyajikan ketentuan atau syarat yang membolehkan anak diatas 13 tahun untuk mengakses beberapa media sosial tersebut, bahkan usia di atas dengan batasan lebih rendah usia diatas 8 tahun.
Sadar atau tidak sadar, apakah media sosial tersebut telah bertentangan dengan Konvensi Hak anak dimana usia anak diatas 13 tahun-18 tahun diperbolehkan dalam penggunaan medsos yang sangat beresiko terhadap keamanan dan keselamatan anak.
Ironisnya, tidak sedikit usia remaja dan anak memiliki akun medsos dengan memanipulasi identitasnya ketika melakukan registrasi, sejak kecil anak sudah dihadapakan pasa situasi cerdik dalam berbohong (manipulasi) dalam jumah tak sedikit, malah ada yang sengaja meminjam akun orang dewasa, naasnya, orang dewasa tersebut memberikannya (Studi Komenkominfo bersama UNICEF tahun 2014).
Pada gilirannya, anak beresiko mengakses informasi orang dewasa, informasi tidak patut, dan belum layak untuk dikonsumsi.
Kedaksinkronan antara kematangan usia dan kelayakan asupan informasi melahirkan gejala ketidakwajaran perilaku anak dan remaja dimana perilaku emosional lebih mendominasi ketimbang rasional, seperti perilaku agresif.
Penduduk Indonesia termasuk salah satu pengguna internet terbanyak di dunia, menjadi pasar ekonomi industri informasi potensial yang artinya itu memberikan keuntungan signifikan bagi para pebisnis industri informasi dalam hal ini pelaku bisnis media sosial. Mainstream industri inilah yang meletakkan aspek edukasi hanya sebagai pelengkap saja dan dalam bentuk proteksi yang kurang optimal.
Indonesia sebagai negara berkembang, yang satu sisi yang menomorsatukan gawai menjadi kebutuhan dasar, belanja kuota derajatnya sudah sejajar dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Namun sisi lain, ironisnya Indonesia telah membuktikan mampu menjadi pasar industri informasi yang hanya memposisikan sebagai konsumen saja.
Sebuah catatan menarik dalam buku Ariel Heryanto, berjudul "Identitas dan Kenimatan, Politik Budaya Layar Indonesia", bahwa dalam kurun kurang 7 tahun Zuckerberg dengan Facebooknya sudah mengintegrasikan seperduabelas jumlah manusia di bumi ini lewat ikatan interaksi dunia maya yang jika dikalkulasikan dalam sebuah negara menjadi negara terbesar ketiga di dunia, mengalahkan Amerika Serial.
Pada saat bersamaan Indonesia menjadi pengguna medsos terbanyak pula, termasuk dalam hal ini penggguna medsos Facebook.
Lantas, sudah berapa banyak keuntungan yang telah dikeruk pebisnis media sosial seperti media sosial facebook, WA, IG, dari masyarakat Indonesia?
Yang menarik diperhatikan bukan keuntungan finansial berupa nilai transaksi yang hanya sekedar bentuk derivasi keuntungan bisnis industri informasi, lebih jail dari itu keuntungan yang dapat mengkonstruksi relalitas dan menciptakan sekaligus mengendalikan nilai budaya dan sosial manusia, sehingga budaya layar menjadi parameter kehidupan sosial,
Hal lain yang patut dipertanyakan dalam sejauh mana medsos tersebut bertanggung jawab secara moral terhadap upaya perlindungan dan resiko keselamatan atas dampak informasi terhadap anak atas penggunaan gawai dalam mengakses informasi dan interakasi di media sosial.
Gejala "Fear Of Missing Out", situasi keterasingan akibat ketinggalan informasi memunculkan perilaku reaksi berlebihan dalam menerima informasi sekaligus melanjutkan lewat re-share, re-post, menyebarluaskan kembali tanpa jeda konfirmasi atas informasi yang diterima tersebut, mereduksi ruang kontemplasi atau perenungan untuk memantik kesadaran kritis digeser ke arena kompetisi, bersaing untuk menjadi orang pertama sebagai penyebar informasi.
Sementara lalu lintas dan ruang interaksi yang terkonstruksi cenderung reaktif dan emosional lantaran informasi yang diterima bersifat sensasional, sehingga persepsi atau justifikasi atas informasi yang diterima didasarkan atas emosional dan keyakinan dirinya. (snd-jsh)