Tidak Semua Aduan adalah Hoaks
Sampai pada pertengahan bulan November sepanjang tahun 2020, Jabar Saber Hoaks (JSH) telah menerima aduan sebanyak 5.906 Aduan. Dari jumlah aduan tersebut, 2.192 merupakan aduan yang berisi informasinya mengandung kebenaran, selebihnya 4.004 merupakan aduan yang isi informasinya mengandung hoaks.
Jika diurai lebih dalam, dari aduan informasi hoaks tersebut beragam judul, isu, kategori, dan lokus. Lokus artinya-barangkali, bicara soal lokasi peristiwa itu terjadi, atau level isu yang sifatnya internasional, nasional, regional atau bahkan lokal. Penentuan skala lokus ini juga berpotensi untuk diperdalam, soal apa rasionalisasi dan argumentasinya.
Dari sudut pandang jenis isu (Hukum/Regulasi, Kesehatan, SARA, politik, becana alam, dan lain sebagainya), dapat menjadi bahan masukan bahwa potensi hoaks yang intens muncul lewat aduan menjadi bahan perhatian bersama, terutama untuk para pemangku kebijakan, dalam hal ini Pemerintah, tentang bagaimana membangun komunikasi publik dalam hal mengkonstruksi narasi yang berpotensi munculnya gangguan informasi.
Sisi lain, hadirnya hoaks tidak saja harus disikapi secara antisipatif, aktif, melainkan menjadi otokritik bagi pemangku kebijakan itu sendiri. Setiap antitesis yang muncul ke permukaan (terlepas antitesis tersebut adalah hoaks atau bukan) akan menjadi alat kontrol sosial dalam memfungsikan dirinya sebagai pelayan publik.
Misalkan, muculnya informasi hoaks soal regulasi atau kebijakan, menggambarkan betapa mudahnya informasi hoaks tersebut muncul, sekaligus betapa kurang percayanya publik terhadap informasi kebijakan.
Ketersebaran lokus atau infromasi kejadian hoaks itu berlangsung, misalnya lokus di Kota Bandung yang cukup banyak, menunjukkan pula perlunya atensi yang lebih kuat untuk mengantisipasinya lewat berbagai aksi, baik itu program kampanye anti hoaks yang berpijak pada persoalan lokus.
Kumpulan data dan informasi yang cukup bersifat rekomendatif ini, sejatinya dapat disikapi secara aktif, responsif, dengan peka yang cukup tinggi.
Hal lain yang cukup menarik dicuplik-urai antara lain, aduan publik yang isi informasinya bukan hoaks, atau infromasi benar. 2.192 aduan yang berisi informasinya mengandung kebenaran tersebut, apakah hal ini mencerminkan tingkat critical thinking masyarakat yang tinggi, atau malah sebaliknya menujukkan tingkat keraguan publik yang cukup tinggi pula, sekalipun informasi yang diadukan tersebut sudah mengandung kebenaran.
Tentu saja untuk menarik benang merah, seberapa besar publik ada di wilayah critical thinking dengan berbagai alasannya, atau sebaliknya seberapa parah keraguan publik terhadap infromasi benar yang diadukan kepada Jabar Saber Hoaks, harus dilakukan pengujian yang lebih mendalam dengan berbagai metoda, apakah itu lewat kajian penelitian ilmiah, survey kepada publik, atau upaya-upaya lainnya.
Pada saat ini yang diperlukan bukan hanya soal puas atau tidaknya publik terhadap fungsi layanan komunikasi publik, melainkan juga pada soal kepastian kualitas sebuah informasi dan kepastian kesadaran publik atas informasi yang diterima.
Antara critical thinking publik dengan keraguan publik adalah hal yang tipis perbedaan pada permukaannya, namun nilainya sangat berbeda. Pada ruang semangat berpengetahuan (dispilin ber-ilmu) dalam pencarian kebenaran, keraguan dalam berpikir dan kritis dalam berpikir merupakan dua bersaudara dalam sebuah cara menemukan kebenaran. Namun, pada perjalanannya kearaguan yang diliputi oleh rasa dibohongi oleh informasi yang berlarut-larut, melahirkan rasa tidak percaya terhadap sebuah informasi.
Ada temuan lain yang menarik ketika klarifikasi dilakukan terhadap informasi hoaks yang sifatnya tidak harga mati, misalnya informasi yang berkaitan dengan penelitian terhadap menular tidaknya sebuah penyakit lewat media, menggantungnya atau belum ditemukannya obat penawar atas sebuah penyakit, atau hal-hal lain yang sifatnya penemuan yang baru atau pembaruan-pembaruan yang menggugurkan temuan atau justfikasi sebelumnya.
Pendek kata, hal yang belum tentu salah hari ini, memungkinkan akan salah di kemudian hari. Sebaliknya hal yang dinyatakan hari ini benar, belum tentu esok lusa kemudian menjadi benar, bisa menjadi salah. Sementara fungsi klarifikasi hoaks pun pada gilirannya menjadi pertaruhan nilai, seakan-akan bahwa justifikasi terhadap benar tidaknya sebuah informasi yang beredar bersifat ajeg.
Jika demikian yang terjadi, maka sifat kebenaran itu tidak ajeg, artinya luwes, atau malah dapat berubah-ubah dalam konteks waktu dan ruang juga, yang kemudian menjadi pertanyaan: apakah nilai hoaks juga bersifat berubah-ubah, tidak ajeg? [Snd]