Tertawa

Dilihat: 923 kali
Rabu, 04 November 2020

Tertawa

Jika melihat adegan tertawa dalam sebuah pertunjukan teater atau sebuah film, tentu perlu mengolahnya, meskipun itu rekayasa. Ada dramatisasi dan hasil komedi di sana. Ada proses latihan atau belajar tertawa lewat adegan, ada kuliahnya, ada jurusannya, ada metodenya, atau bahkan ada matrikulasi-kurikulumnya untuk tertawa, sehingga mereka yang sudah biasa melakukan adegan, dapat memproduksi tawa dengan kualitas tinggi, lalu saya sebagai penonton berhasil terbawa arus, dan terjebak dalam kubangan tawa. 

Tertawa merupakan anugerah dari Tuhan yang gratis tanpa bayar, berbeda dengan kita sebagai manusia, untuk mendapatkan hiburan yang menghasilkan sebuah tawa, katakanlah, harus merogoh saku untuk masuk arena pertunjukan bioskop atau stand up comedy yang akhir-akhir ini lagi ramai. 

Tertawa, sebuah spontanitas, yang sadar tak sadar, sudah menjadi kebutuhan dasar yang manusiawi. Tentunya perlu sebuah objek sebagai bahan untuk menghasilkan agar kita menjadi tertawa. Pendek kata ada yang harus ditertawakan, entah itu orang lain yang menjadi objek tawaan dengan penyikapan yang konyol dan naïf terhadap sekelumit persoalannya, atau sebuah peristiwa yang sifatnya tragis maupun komedi yang keduanya bisa saja menghasilkan sebuah tawa. 

Menertawakan atau ditertawakan merupakan persoalan penyampaian dan penerimaan. Banyak orang yang asyik atau kuat menertawakan orang lain namun begitu rapuh dan lemah ketika dirinya ditertawakan, perbandinganya seratus satu, artinya dari dari seratus orang yang menertawakan hanya satu orang yang matang secara emosional untuk ditertawakan. Namun jarang orang kuat untuk ditertawakan atau bahasa kerennya “dibuli”. 

Persoalannya bukan “ditertawakan” kemudian harga diri menjadi tergoda, dipermalukan.  Urusannya bukan pula, ketika seseorang ditertawakan tidak ada perubahan sikap dan perilaku bahkan sebaliknya bertambah konyol dan naïf dalam menyikapi perosoalan, artinya tambah tolol. 

Kita, ketika ditertawakan, banyak dimensi di luar itu yang sangat membantu diri kita mengontrol diri untuk menjadi matang secara emosional ketika mengahadapi rintangan dan tantangan. Ditertawakan lewat sindiran, ejekan, cibiran, merupakan alat ketika kita bagaimana menerimanya. Persoalannya bukan pada efek atau isi dari tawa yang membuat kita jengkel dan kesal.

Dengan ditertawakan, menjadi alat kritis yang dialamatkan pada kita yang sejatinya diterima sebagai hal yang konstruktif. Hal lain ketika kita ditertawakan dihapadan orang banyak, kemudian larut didalamnya menertawakan diri kita sendiri, menunjukkan kecakapan emosional kita tentang penerimaan kebenaran apa yang sedang kita alami, penerimaan kejujuraan atas ketidakmampuan kita dalam meraih sebuah harapan tanpa harus menjadi putus asa.

Menertawakan persoalan diri sendiri atau (paling tidak merespon kerumitan hidup kita dengan senyuman) ketika misalnya dalam menyikapi kegagalan atau melewati penderitaan, membuktikan keyakinan dalam diri bahwa perjalanan hidup belumlah usai.

Menertawakan diri sendiri karena kesengsaraan dan penderitaan menunjukkan kekuatan emosionalitas kita yang dapat diukur dan diatur dengan adil (fair). Kita akui bahwa kita miskin, namun dengan menertawai kemiskinan kita, optmisme terjaga. Berbeda ketika kita menyikapinya dengan ratapan kesedihan yang akan menumbuhkan benih ketidakpercayaan dalam diri yang susah untuk bangkit (pesimis).

Dalam suasana apapun, sebagai pengendali diri, rasa humor sebagai obat penenang diri, butuh hadir di sekitar kita. 

Saya sangat tertarik dengan sebuah kata pengantar buku tentang rasa humor dari sebuah masyarakat yang mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan. Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain. Kepahitan akibat kesengsaraan, diimbangi oleh pengetahuan nyata akan keharusan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup. Dengan demikian, humor adalah sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat.

Hadapilah dengan senyuman (jika belum berani tertawa). [snd]