Bias Konfirmasi dan Matinya Dialektika

Dilihat: 750 kali
Jum'at, 13 November 2020

Bias Konfirmasi dan Matinya Dialektika

Wadaw, judulnya berat bin njelimet, susah difahami, cuy.

Sebetulnya mau nyederhanain judul di atas, redaksinya seperti apa, akan tambah bingung dan ruwet. Namun kerumitan judul di atas, tak lepas dari keruwetan cara berpikir saya, ruwet mikirin judul di atas.

Bias konfirmasi? Bias plus konfirmasi. Atau bias tapi terkonfirmasi (nggk jelas ini maksudnya apa?), atau mungkin mengkonfirmasi dengan cara-cara yang bias, atau saya melakukan konfirmasi namun berpotensi bias? Ampun, tambah mumet dah…

Barangkali kata tabayyun dapat menolong mengantarkan saya pada pemahaman soal bias konfirmasi ini. Oke, orang bilang, apa-apa harus tabayyun jika menerima informasi, jangan begitu saja ditelan mentah, karena jika menelan sesuatu yang mentah jadinya mules dan sakit perut kemudian larinya bisa ke belakang atau balik lagi, ke kepala, puyeng.

Konfirmasi atau tabayyun adalah menguatkan kadar kesahihan kabar, meyakinkan kembali kebenaran atas sebuah informasi yang diterima. Dampaknya apa Cuy? Dari kebiaasan konfirmasi atau tabayyun alias mempertanyakan ulang kebenaran informasi tersebut, kita menjadi terbiasa untuk bertab’iat kros cek, selalu memeriksa dan menguji keabsahan sebuah informasi.

Namun tidak semudah itu ferguso …dalam melakukan konfirmasi, selalu ada tantangan sekaligus gangguan dari dalam diri kita. Gangguan apa itu? Gangguan psikologis alias perasaan yang mempengaruhi cara berpikir mengkonfimasi. Aduh, muter2 mulai puyeng lagi nih.

Apa dan siapa yang akan dikonfirmasi, akan menentukan bias dan tidak biasnya sebuah informasi. Bias akan terjadi ketika konfirmasi dilakukan kepada objek atau orang yang se-perasaan, dan se-pemandangan dengan dirinya.

Misalnya, saya kerap tabayyun kepada teman dekat, karib kerabat, satu permainan, pokoknya orang yang betul dekat dan selalu saya percayai. Lantas apakah tindakan ini salah? Tidak juga (artinya ada iyah nya juga, Ya…ada salah didalamnya).

Apakah jika saya konfirmasi ke kakak saya salah? Apa salahanya jika saya konfirmasi ke paman saya? Apa kelirunya jika saya konfirmasi kepada teman sekelas saya? Apa bahayanya jika saya tabayyun kepada tetangga yang sudah lama dekat dengan saya?

Manusia punya rasa belas kasih, rasa tolong-menolong, rasa iba, yang melekat-menjiwa, namun sayangnya, kebenaran kadang tidak berperasaan. Hadirnya perasaan yang berlebihan atau tidak berimbang dengan pikiran dan akal sehat (berat sebelah atau malah jomplang), nilai kebenaran dari hasil konfirmasi menjadi bias. Model praktik berpikirnya seperti rasionalisasi yang dipaksakan, atau pada tingkat yang ekstrim bukan lagi kebenaran yang terjadi, melainkan pembenaran.

Sebetulnya saya tidak ingin melekatkan judul Dialektika di atas, namun daripada harus menjajarkan kata Tesis, Antitesis, dan Sintesis, terlalu kepanjangan untuk ditempatkan menjadi judul, terlalu boros. Ya, kurang lebih dialetktika dalam pemahaman sederhana (menurut pendapat saya), syarat atau cara menghadirkan nilai sebuah kebenaran itu dengan jalan berdialektika, dimana proses tesa-antitesa-sintesa harus selalu terjadi atau hadir dalam proses mencerna sebuah informasi.

Terkadang kehadiran antitesa menjadi alergi bagi pikiran, mengganggu kenyamanan, membuat keraguan dan goyahnya perasaan. Kurang lebih seperti ini, kehadiran antitesa akan meng-anti-kan terhadap tesa yang ditawarkan. Padahal, kehadiran antitesa tersebut, jika disadari agak dalam, dia adalah filter atau penjernih dalam proses berpikir, mencermati, menanggapi persoalan dalam keadaan sehat alias waras, tidak miring, condong, apalagi tendensius. (snd)