Meaningless Digital Era
(Yang Penting Viral dan Tenar)
Sebuah catatan -yang saya lupa lagi- menyinggung soal kemudahan dan kemurahan mengakses informasi dari berbagai kanal hanya bermodal gawai, telah merubah masyarakat yang sifatnya khalayak menjadi audien.
Publik tidak hanya menjadi konsumen namun sekaligus menjadi produsen informasi. Seseorang dapat menyampai-sebarkan informasi tanpa harus faham etika atau cara santun dalam menyampaikan sebuah pesan.
Setiap individu bebas menerima, mencari, dan menyebarkan informasi atau sebuah berita. Siapapun dapat menjadi wartawan di dunia maya (netizen journalist).
Industri 4.0 ditandai dengan digitalisasi informasi, entah sebuah gejala kemajuan, pergeseran atau kemorosotan sebagai dampak, perlu ada takaran atau parameter yang jelas.
Media mainstream tidak lagi menjadi determinasi sebagai corong informasi terhadap konstruksi persepsi publik. Media mainstream tidak lagi menjadi satu-satunya yang berfungsi sekaligus berdampak terhadap kontrol sosial yang sebelumnya cukup andil dalam membangun kesadaran publik pada wilayah konstruksi nilai dan moral.
Bahkan, saat ini ikut masuk dalam pusaran industri informasi bercampur baur atau malah menjadi subordinasi dari platform media sosial (nebeng, nyantol), dimana sebagian informasi yang tersaji dan diterima bukan hanya menjadi kebenaran, melainkan pembenaran.
Rendahnya minat membaca -yang dapat menjadi pengetahuan (knowledge management)- berakibat pada pergeseran orientasi atau malah disorientasi dalam menyikapi dan memperlakukan informasi lantaran tidak disertai penguatan pemahaman terhadap sebuah informasi.
Survey PISA (Programme For International Student Assessment) OECD tahun 2018, tentang kemampuan membaca untuk anak sekolah (fase usia yang mestinya terdidik), Indonesia menempati peringkat bawah, jauh dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Hal tersebut menunjukkan kondisi kesehatan literasi kita sangat memprihatikan.
Kiranya, bonus demografi Indonesia di be berapa tahun yang mendatang tidak hanya diapresiasi dari soal usia produktif saja, namun juga perlu penyiapan penguatan dasar berupa karakter dan nilai, serta banguan nalar kritis (critical consciousness), termasuk dalam hal ini kritis -atau setidaknya- waras dalam menyikapi dan memperlakukan informasi.
Diakui atau tidak, tidak sedikit informasi yang diterima, dicari, dan disebarkan via gawai, hanya didasarkan atas emosional, atau keyakinan dirinya, bukan atas pertimbangan rasional, sehingga menjadi nilai murah untuk dipercaya.
Sementara, informasi yang diproduksi untuk kemudian disebarluaskan dalam berbagai kanal dan platform media sosial cenderung bersifat sensasional dengan tujuan menaikan rating popularitas dan menjadi viral.
Popularitas dan viral inilah menjadi mata uang pasar informasi digital yang disokong dengan modal seberapa tinggi angka engagement dalam bentuk, jumlah yang like, comment, follow, serta turunan lainnya.
Gawatnya, rendahnya minat baca berakibat terhadap ketidakmampuan menjeda-menghayati-atau sedikit mencerna secara ktitis (minimal dengan rumus 5 w 1 h) atas sebuah informasi yang diterima atau diproduksi begitu saja.
Walhasil, muncullah fenomena penyakit informasi hoaks dalam bentuk miss, diss, false content, atau bahkan yang mengarah pada malicious deception, yang sangat berpengaruh terhadap nilai kepercayaan (trust), satu sama lain saling curiga dan ragu atas sebuah informasi.
Pada situasi seperti ini barangkali diperlukan pendidikan literasi digital dalam berbagai ranah publik, tentang bagaimana cara sehat menerima, mempersepsi, memproduksi, serta menyampaikan sebuah informasi. Tentang bagaimana cara sehat mengkonfirmasi atau mencari sumber informasi.
Wallohu A’lam Bishawab_snd
Bandung, 10 Januari 2020