POLEMIK RUU CIPTA
KERJA : DARURAT KOMUNIKASI DI TENGAH PANDEMI
Reaksi Publik Paska Disahkannya RUU Cipta Kerja
Oleh: : Depi Agung Setiawan, S.Sos, M.I.Kom
Mengutip dari pemberitaan www.wartaekonomi.co.id (10/10/2020), Pemprov DKI Jakarta mencatat sedikitnya kerugian akibat aksi demonstrasi UU Cipta Kerja (Ciptaker) mencapai Rp65 miliar. Kerugian tersebut diklaim atas tempat fasilitas umum yang dirusak dan dibakar oleh masa demonstran yang berasal dari berbagai kalangan: kaum buruh, mahasiswa, dan para aktivis yang kontra terhadap RUU Sapu Jagat ini.
Masifnya reaksi publik yang menolak disahkannya RUU Cipta Kerja ini tentunya bukan tak beralasan. Alih-alih dianggap sebagai regulasi yang menyangkut langsung dengan hajat hidup orang banyak, pengesahan RUU Cipta Kerja ini dianggap oleh sebagian kelompok terdapat kecacatan dalam tahap proses penyusunannya. Seperti yang diutarakan oleh Eko Listiyanto (Wakil Direktur INDEF), ia menganggap bahwa pemerintah dan DPR cenderung membatasi ruang partisipasi masyarakat dalam pembuatan RUU ini. Misalnya, untuk dapat mengakses dokumen RUU Cipta Kerja masyarakat merasa sangat kesulitan.
Dalam konteks komunikasi politik, munculnya reaksi masa yang menolak atas disahkannya RUU Cipta Kerja adalah hal yang wajar. Penolakan masif dari publik merupakan salah satu bentuk kontrol terhadap rezim pemerintahan Jokowi dan DPR saat ini. Dalam tatanan Negara demokrasi, tentu saja reaksi penolakan ini harus dirawat (direspon) sebagai dasar evaluasi atas kebijakan yang telah ditetapkan.
Demonstrasi masa sebagai puncak ketidakpuasan publik
Gelombang protes yang memuncak dan terjadi di beberapa daerah sejak tanggal 6 dan 7 Oktober 2020 ini merupakan akumulasi kemarahan publik yang cenderung kurang direspon oleh pemerintah dan DPR. Pada bulan Juni 2020, Wahana Lingkungan Hidup atau WALHI menyatakan ketidaksetujuannya atas RUU Cipta Kerja ini. WALHI menolak hadir untuk memenuhi undangan dari Panitia Kerja (Panja) Pembahasan RUU tentang Cipta Kerja Badan Legislasi DPR RI.
WALHI menilai, RUU Cipta Kerja tidak mempunyai urgensi dan semangat melindungi kepentingan lingkungan hidup. Berdasarkan kajiannya, RUU Cipta Kerja malah memuat semangat melindungi investasi dengan menghapus beberapa ketentuan krusial dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penolakan terhadap RUU Sapu Jagat ini pun tidak saja datang dari dalam negeri, dikutip dari laman pemberitaan www.reuters.com (16/07/2020), Bank Dunia atau World Bank telah mengkritik RUU Cipta Kerja karena dianggap berpotensi berdampak buruk pada sector kesehatan dan keselamatan masyarakat, aset alam, dan hak tenaga kerja atau kaum buruh.
Darurat komunikasi pemerintah di tengah pandemik Covid-19
Menyempitnya ruang komunikasi (khususnya komunikasi tatap muka) antara pemerintah dengan pemangku kepentingan akhir-akhir ini adalah suatu keniscayaan. Kebijakan penerapan protkol kesehatan guna mencegah penyebaran mewabahnya pandemi Covid-19 menjadi salah satu penyebab tidak terbangunnya komunikasi yang optimal.
Diketahui, bahwa Satgas Omnibus Law ini disahkan pada tanggal 9 Desember 2019 berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 378 Tahun 2019. Satgas yang diketuai oleh Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) ini dimandati tugas untuk melakukan konsultasi publik atas draf RUU Cipta Kerja, melakukan inventarisasi masalah dan memberikan masukan dalam rangka penyempurnaan regulasi hasil konsultasi publik. Satgas berdalih, bahwa pelibatan publik dalam perumusan RUU Cipta Kerja diserahkan ke masing-masing sektor: kementerian dan lembaga terkait.
Idelanya, dalam tahapan penyusunan RUU Cipta Kerja, Satgas yang konon beranggotakan 12 rektor dari perguruan tinggi negeri ini seharusnya mampu membuka keran partisipasi publik, dengan mana keterilibatan publik dalam penyusunan sebuah RUU menjadi salah satu sumber menguatnya legitimasi atas setiap produk regulasi di Negara ini.
Penerapan metode omnibus versus kesiapan literasi publik
Atas polemik yang terjadi, tentu saja harus ada solusi yang elegan yang sedianya mampu merangkul asa dari segenap pihak. Ambisius pemerintah untuk meng-golkan RUU ini tentu saja bukan tak beralasan. Dari kurang lebih 11 kluster yang diramu dalam RUU Cipta Kerja ini pihak pemerintah mengklaim RUU ini akan mampu menyederhanakan soal perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, termasuk soal administrasi pemerintahan.
Memang, selain mekanisme omnibus yang cenderung belum dipahami secara utuh oleh khalayak dalam tatanan hukum Indonesia, pun gemuknya materi yang terkadung dalam RUU Cipta Kerja ini cenderung membuat sikap kebingungan publik untuk dapat mengetahui rincian pasal per pasal yang terkandung dalam draf RUU ini. Maka wajar saja, jika muncul multi tafsir, bahkan bertebarannya informasi keliru atau hoaks di kanal-kanal media sosial atas substansi yang terkandung pada RUU Sapu Jagat ini.
Fenomena ini jelas mengisyaratkan, bahwa penyusunan RUU Cipta Kerja dengan metode omnibus yang menaungi sekira 83 undang-undang dengan kurang lebih dari 2500 pasal ini akan bersinggungan erat dengen konsidi kesiapan literasi masyarakat Indonesia pada hari ini.
PERPU atau judicial review adalah solusi elegan dalam Negara demokrasi
Namun demikian, sikap arif dan optimis harus tetap dirawat oleh semua pihak dalam menyikapi polemik RUU Cipta Kerja ini. Dalam tatanan konstitusi Negara Indonesia, polemik ini tentu saja dapat dicarikan solusinya, antara lain dengan pertimbangan segera diterbitkannya PERPU oleh pemerintah, dan atau ditempuhnya lewat jalur judicial review di Mahkamah Konstiusi pasca ditanda tanganinya RUU ini oleh Presiden Jokowi pada 5 November 2020 nanti.
Sebagai Negara dengan penduduk dan kultur yang majemuk, menunjukan sikap arif dari berbagai pihak adalah pilihan terbaik guna meredam polemik RUU Cipta Kerja ini agar tidak berkepenjangan dan menyeret bangsa ini ke jurang kemudharatan alias cilaka. Mari berdemokrasi dengan komunikasi!