Internet of Things, Bejibunnya Populasi Dunia Maya
Buyset bro…, tahun 2018 pengguna internet di dunia nyampe 3,5 milyar, melebihi setengah populasi manusia, sementara penghuninya saja tidak nyampe segitu. Kebayangkan, artinya satu orang ada yang menggunakan lebih dari satu akses internet atau lebih dari satu perangkat gawai. Ada yang satu orang punya lebih dari dua ampe 3 smart phone, ampyun dah buat apaan ya? Ada juga barangkali yang pake PC atau desktop ditambah gawai, juga jika itu dihitung sebagai pengguna internet.
Jika saja pengguna internet didasarkan atas no HP yang teregistrasi, bisa kebayang jika setiap orang memiliki lebih dari satu nomor dan lebih dari satu perangkat. Akan lebih banjir lagi jika setiap penggguna internet dihitung berdasarkan akun di media sosial yang sementara satu orang saja dapat membuat akun lebih dari berkali-kali akun.
Di Indonesia saja, setelah APJII terakhir ngitung di tahun 2020 lewat surveynya, kenaikan pengguna internet mencapai 25,5 juta pengguna dari tahun 2018. Pengguna, bisa jadi bukan orang, tapi boleh jadi berupa perangkat atau akun.
Yang pasti dunia sudah terbagi menjadi dua, katakanlah ada dunia maya dan dunia non-maya, yang masing-masing memiliki alam realitasnya, yang dua realitas tersebut bisa jadi sangat berbeda. Realitas dunia maya dan realitas bukan dunia maya.
Tentu saja realitas dunia maya, yang dahulu sempat disebut realitas virtual, atau pseudo reality, dan kini diyakini sangat menunjang kehidupan sehari-hari, kebutuhan sosial, dan ekonomi.
Dalam realitas dunia maya tersebut, hal yang paling mendasar bernilai alias berharga adalah informasi. Ya, ketersediaan informasi tersebut menjadi kebutuhan pokok yang kalo boleh dibilang sama urgennya dengan sembako, artinya banyak orang sangat tergantung (kalo disebut nyandu mah kebangetan), jika kehilangan kebutuhan tersebut sama dengan tidak dapat makan, kehilangan penghasilan, dan peluang usahanya.
Ada hukum yang menyebutkan: ada koneksi ada atensi, persis dengan rumus dagang demand dan supply. Relasi transaksional ini menjadi roh dalam berkoneksi internet. Banyaknya informasi yang mengarah dan bersifat pertukaran atau lebih tepatnya perdagangan informasi ini bersifat konvergen, bermuara pada satu titik, misalnya ekonomi kapital, dimana pasar atau transaksi yang menentukan atau berkuasa dalam mengambil keputusan.
Ketika pasar menjadi tumpuan, bukan lagi kebersamaan dengan rasa saling perhatian yang menjadi pegangan, melainkan persaingan alias kompetisi, saling sikut menyikut, tarik menarik, bukan saling ulur membagi.
Hadirnya platform jualan online yang sebetulnya mengadopsi pola dagang tradisional konvensioal ditandai dengan adanya toko-toko online dengan jargon yang melekat atau akrab dengan realitas lokal, misalnya bukalapak. Hal ini sah-sah saja, tidak ada yang melarang kok, namun yang perlu disadari dan diperhatikan bahwa mereka penguasa platform tersebut pada realitas sesungguhnya tidak memiliki barang apalagi memproduksi barang. Mereka tidak memiliki pabrik yang memproduksi barang tersebut, terlebih, apalagi mereka tidak memliki karyawan pabrik tersebut.
Sekali lagi, yang paling utama diperjualbelikan adalah informasi, dari transaksi informasi inilah keuntungan didapat. Pada titik ini, informasi mengalami revolusi yang disertai dengan kemajuan percepatan perkembangan teknologi baik bersifat lunak maupun keras. Semakin teknologi lunak meruak, semakin kecil perangkat keras diciptakan, semakin mudah dunia dilipat-lipat dan dimasukan kedalam saku, dalam sebuah lensa yang cukup ditempel dengan mata yang terkoneksi ke sana kemari, dalam sebuah chip yang dapat ditanam dalam tubuh seperti dalam adegan film.
Namun, pertanyaan mengganjal sampai saat ini adalah sejauh mana kemajuan teknologi informasi yang super duper cepat ini, sukses mengiringi laju kesejahteraan manusia seperti angka kemiskinan berkurang, pengangguran menipis, kebutuhan hidup manusia banyak tepenuhi, serta sejauh mana kemajuan teknologi komunikasi dan informasi ini telah mampu berkontirbusi terhadap peradaban kewarasan moral manusia? (snd).