Dicari, Polisi yang berhati Hoegeng!

Dilihat: 1,105 kali
Jum'at, 09 Oktober 2020

Dicari, Polisi yang berhati Hoegeng!

Pak hoegeng seorang Kepala Polisi (Kapolri) pusat dengan penampilan mungkin sesederhana tingkat Polsek bahkan hansip dan satpam. Kita dengan mudah memberikan predikat Pak Hoegeng adalah orang yang sukses lantaran jabatan yang disandangnya sebagai pucuk pimpinan Polri seantero Indonesia. Kita bisa saja mencumburuinya atas jabatan, fasilitas, serta kemudahan yang didapatnya. Ia, mungkin di mata kita, dapat berpelisiran ria ke daerah-daerah pelosok Indonesia sambil berdinas dengan mengajak isteri atau sanak familinya. Rumahnya yang mentereng dengan garasi yang memuat lebih dari satu mobil serta halamanya luas tentu saja membuat nyaman dan bahagia. Seorang pucuk pimpinan atau sekelas direktur dalam sebuah perusahaan barangkali di mata kita hanya perlu duduk-duduk saja. Perintah sana perintah situ, tunjuk kanan tunjuk kiri. Kalaupun perlu ke lapangan, tinggal instruksikan para anak buahnya. Terima gaji, maksimalkan tunjangan sepuasnya, sodok sana-sani, pelintir kanan-kiri, pulang ke rumah, lantas tidur berbagi kebahagiaan bersama istri.

Bagi Pak Hoegeng tidak. Selama ia menjabat, Ia berkeliling bertugas dengan mengayuh sepeda kumbang miliknya. Seringkali ia menyamar sendirian untuk menginspeksi ke lapangan tanpa dibarengi asisten atau ajudan. Jarang kali fasilitas Negara ia manfaatkan, apalagi simpangkan. Ia dapat menempatkan persoalan pada tempatnya. Jarang ia mengeluh atau mencurahkan urusan-urusan pekerjaan kepada istrinya dan anaknya. Tak heran, jika istri dan anak tidak begitu banyak tahu bagaimana suka dukanya selama ia menjabat sebagai Kepala Polisi. Apa yang dilakukannya, di mata kita seolah begitu menderita untuk menampuk jabatan sekelas Kapolri.

Sebuah komitmen dan kejujuran yang terpatri, disadari atau tidak oleh Pak Hoegeng, pada suatu ketika ada sebuah produk motor baru dari sebuah perusahaan yang akan dipasarkan di Indonesia. Perusahaan menjatahkan bagi pejabat satu-dua motor. Pak Hoegeng kebagian jatah motor tersebut dari perusahaan. Diantarkanlah motor tersebut ke rumah Pak Hoegeng. Anak Pak Sogeng yang beranjak dewasa merasa ketiban durian runtuh, ia merasa akan mendapat cipratan rezeki sampingan dari sang Ayah sebagai Kapolri. Pak Hoegeng tidak menolak pemberian motor tersebut, ia mengucapkan rasa terima kasih banyak dengan meminta untuk mengembalikan motornya ke perusahaan tersebut. Sang Anak sangat kecewa, untung Pak Hoegeng tidak tahu bahwa anaknya kecewa dan menginginkan motor.

Kedisiplinan dan patuh pada aturan sangat ia junjung tinggi tanpa pandang bulu. Sesekali si Anak pernah menemui sang Ayah pada ketika ia sedang mengantor. Dikira sang Anak, akan mudah begitu saja menemui sang Ayah yang sedang mengantor, tak perlu repot izin protokoler karena memperoleh keistimewaan dan kemudahan. Tapi bagi Pak Hoegeng tidak, Anak adalah anak, dan pada jam dinas, siapapun yang hendak mendatanginya ia anggap sebagai tamu, sekalipun anak. Maka si Anak pun harus izin protokoler karena aturan dan prosedur kepolisian. Kemudian si Anak menunggu beberapa selang waktu yang tak cukup sebentar. Ketika si Anak masuk ruang kerja sang Ayah, apa yang dirasakan si Anak terhadap wajah sang Ayah, bukan pribadi seorang Ayah seperti di rumah melainkan sosok yang asing, seorang Kepala polisi. Dan si Ayah menyambut Tamu (si Anak) dengan sapaan suara yang tegas dan nyaring: “Anda ada keperluan Apa? Kemampuan menempatkan persoalan pada tempatnya menjadikan dirinya sebagai manusia yang professional.

Mantan Presiden RI di era reformasi pernah memberikan komentar pujian kepada kapolri di era orde baru ini, bahwa di Indonesia hanya ada tiga polisi yang jujur, pertama polisi tidur, kedua patung polisi, dan ketiga adalah hoegeng. Di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap polisi, sosok hoegeng patut diteladani, tidak hanya oleh polisi, namun juga oleh masyarakat.   

Banyak pertanyaan-pertanyaan yang hingga kini belum terungkap tentang dirinya yang dipensiunkan oleh pimpinan orde baru tersebut. Terlepas dari dirinya terlibat petisi 50 atau kegiatan lainnya yang dianggap resisten terhadap keutuhan kekauasaan. Ia banyak bergaul dengan orang-orang yang tidak nyaman terhadap kebohongan yang dianggap sebagai hal yang wajar. Memang kekuasaan yang otoriter tidak nyaman dengan keteguhan dan kejujuran hati. Kemudian dirinya dipensiunkan (diberhentikan). Ia dianggap resisten terhadap kekuasaan Negara, dirinya menjadi terasing dalam kehidupan sosial. Periode orde baru ini sangat mudah mengasingkan orang dalam lingkungan sosial dengan cara membuat maklumat umum atau pengintaian lewat intel-intel sampai tingkat koramil.

Diskriminasi sangat dirasakan oleh keluarga Pak Hoegeng. Sepeda kumbang masih menjadi sahabat transportasinya. Karena tidak ada benda peninggalan kekuasaannya selama menjabat Kapolri yang mengendap pada masa pensiunya. Rumah dan fasilitas penunjang lainnya, ia kembalikan pada Negara. Ia kembali pada rumah hakikatnya, kejujuran dan keteguhan. Untuk mengisi kehidupan, ia isi hari-harinya dengan melukis. Sebagian lukisan ia jual untuk kebutuhan hariannya, sebagian lagi di pajang di rumah. Suatu ketika ada yang tertarik dengan lukisan Pak Hoegeng untuk membeli, namun si pembeli meminta agar nama Pak Hoegeng jangan dicantumkan pada lukisan. Pak Hoegeng menolak permintaan pembeli tersebut, baginya identitas tidak bisa digadaikan atau diperjualbelikan demi keamanan dan kepuasan pembeli. 

Lantas apa sepeninggalan Pak Hoegeng? Harga diri, martabat, dan kejujuranlah dalam dirinya sehingga ia menjadi kiblat teladan para penegak hukum kepolisian. Rasa hormat publik terhadap Pak Hoegeng pada banyak pengharagaan yang tidak tidak bisa dibandingkan dengan nilai material lainnya. (Snd)

Cicalengka, 19 November 2009