Lika liku TiongHoa di Nusantara

Dilihat: 2,666 kali
Senin, 12 Oktober 2020

Lika liku TiongHoa di Nusantara


Pada percakapan adu gengsi produk antar bangsa di kursi pesawat terbang yang terdiri dari orang Amerika, Jepang, Cina, dan Indonesia. Orang Amerika baru sebatang menyalakan rokok produknya ‘Marlboro’, seketika sebungkus rokok tersebut dibuang ke luar pesawat. Kemudian tiga orang lawan bicaranya kaget bertanya-tanya. Alasan orang Amerika membuang rokok dengan menjawab: ‘Di negara saya over produksi Marlboro’. Pun juga apa yang dilakukan oleh orang Jepang setelah membuka laptopnya dengan seketika (tak mau kalah) membuang laptop itu keluar jendela pesawat sambil menjawab: ‘Di negara saya banjir produk toshiba’. Giliran orang Indonesia kikuk, gengsi apa yang akan dipentaskannya. Tak habis akal, ia lempar dan membuang orang Cina keluar jendela pesawat.  Semua penumpang bengong, orang Indonesia menjawab santai: ‘Di negaraku over popoulasi Cina’. 

Etnis Tionghoa dengan jumlah terbanyak di dunia adalah juga imigran terbesar yang tersebar di pelosok Indonesia. Kelakar tentang Cina di atas rada  berbau konyol atau bahkan sentimen, dan itu merupakan serpihan sejarah atas stigmatisasi orang Cina lantaran timbul cemburu urusan dagang. Ada sebutan sentimen lain terhadap pedagang Tionghoa dengan sebutan Baba-Acun. Padahal babah representasi Arab-India sedangkan Acun representasi Tionghoa. Kebutaan pandangan lantaran kecumburan, dengan begitu saja dua representasi ras disederhanakan dan diremehkan. Perlakuan mulai dari genosida, appartheid, exorcism, hingga stigma  membekas hingga hari ini.   

Memang, menjadi kaum migran ada tantangan tersendiri, berupaya mempertahankan hidup dengan bekerja keras, bertahan atas perlakuan yang berbeda dari warga pribumi. Dicela jika mendominasi, dipuji manakala hormat atau patuh terhadap pribumi. Migrasi yang terjadi pada orang-orang Cina yang tersebar di berbagai penjuru dunia menjadi budaya migrasi tersendiri. Seolah mereka tak memilki rumah tapi berumah dimana-mana. 

Warga Tionghoa memiliki cerita di masing-masing daerah migrasinya, dan atas kemandirian sikap yang ulet acapakali mewarnai bahkan mendominasi dalam berbagai aspek kehidupan, mereka mampu membangun suatu wilayah dengan dasar etnisitasnya yang kuat, mendirikan sebuah negara yang terpisah secara politik dari Cina daratan, seperti Taiwan yang enggan bergabung dengan Cina daratan lantaran urusan ekonomi, Singapura yang merdeka atas Inggris dan kini memiliki posisi strategsi bisnis di Kawasan Asia Tenggara, serta Hongkong yang baru bergabung dengan Cina daratan.

Cina bisa dikatakan sebuah negara miskin sumber daya alam namun tak kalah gigih semangat manusiannya. Jepang yang katakanlah dalam sebuah harian disebut secara fisik berada di Timur, namun secara jiwa (akal dan pikiran) di sebelah Barat. Pun dengan Cina, secara fisik oriental, tetapi keuletan mereka secara individu maupun komunal menunjukan bahwa akal dan pikiran bisnis mereka agak kapital. Pendek kata, dimana ada geliat dan potensi perdagangan di situ ada Cina. Di Indonesia, peran Cina dalam perdagangan sangat besar dan kuat, bahkan jauh sebelum nama Indonesia ada.  Berlayarnya pedagang Cina atau Tonghoa ke berbagai perairan nusantara turut menciptakan kota-kota maritim dan bandar pelabuhan sebagai pusat perdagangan di sejumlah perairan nusantara.  Tak heran jika banyak perairan Nusantara Indonesia sempat menjadi pusat perdagangan intternasional, seperti Cirebon, Anyer, Sabang, Malaka, Maluku. Yang heran justru hari ini perairan Indonesia (yang dulu menjadi pusat-pusat kegiatan perdagangan maritim) redup, bahkan sengaja ditutup untuk tidak  beroperasi.    Apa yang lebih lebih menarik untuk ditinjau dari kegiatan Cina dalam berdagang dan pelayaran antara lain pengaruh terhadap sejarah kehidupan sosial dan budaya.

Sejarah bukan hanya bak sumur tanpa dasar yang ketika digali terus menerus tak berujung, namun juga bak bola lampu yang jika dilihat dari masing-masing sudut arah mata angin akan tampak warna atau cahaya realitas yang berbeda. Dalam hal ini bahwa kehadiran etink Tionghoa dalam sejarah di Nusantara tidak lah linear. Apa yang membuat perjalan sejarah itu dinamis adalah keterbatasan pandangan kita lantaran tidak bulat ketika melihat sebuah sejarah yang pada dasarnya bulat dan memiliki realitas berbeda pada masing-masing pinggir lingkaran bola sejarah tersebut. 

Orang-orang Cina atau Tionghoa berperan besar terhadap babak sejarah nusantara Indonesia. Jauh sebelum Belanda menginjak, catatan sejarah Cina di Indonesia begitu panjang dan lebar. Tak habis ketika dirunut tak tuntas ketika dikupas. Bongkahan sejarah terus menerus digali, interpretasi pun menjadi multi. Patut kita telusuri, lantaran itu semua merupakan kekayaan sejarah dan budaya yang ada di Indonesia.    

Orang-orang Tionghoa datang ke Indonesia berdagang, kemudian membaur, tukar menukar, silang-saling lewat perkawinan kemudian menetap, yang terjadi  kemudian seolah Cinaisasi atas Indonesia sebagaimana Islamisasi  atas nusantara, tak heran jika muncul istilah golongan Indo-Cina, bangsa keturunan, atau peranakan. Pada pra kolonial mereka datang berdagang tanpa membentuk ikatan monopoli dagang secara formal maupun institusional seperti apa yang dilakukan oleh VOC Belanda atau Pemerintah Hindia Belanda. Namun ekesistensi kehidupan mereka sepanjang kolonial  mampu bertahan dan bersaing walupun banyak tekanan lewat peraturan  pada masa permerintah VOC maupun Hindia Belanda. Dagang, apa yang dilakukan Tionghoa tidak hanya membeli kemudian menjual kembali dengan keuntungan yang lebih. Mereka berupaya bagaimana membangun hubungan komunikasi sosial agar ditrerima kerajaan-kerajaan Indonesia, melakukan dan menciptakan tata cara transaksi dan sistem pembayaran dagang dengan kaum pribumi. Lebih jauh dari itu, bagaiamana mereka bisa tetap hadir di nusantara untuk bercampur dan membaur. Dengan demikian, Tionghoa pada gilirannya bukan lagi outsider dalam struktur sejarah dan budaya nusantara, namun turut menentukan arah perjalanan Indonesia. 

Sebagai gambaran bauran  seajarah dan budaya kerajaan di Nusantara. Raja Demak Raden Fatah, berasal dari koloni Cina di Palembang dan ia bernama Jin Bun. Islamisasi Tionghoa atau sebaliknya telah terjadi pada raja Demak tersebut, sementara Raden Fatah tersebut adalah keturunan raja Hindu Majapahit.  Apa yang terjadi pada Raden Fatah, tidak begitu kental fanatisme etnik, agama, ataupun ras yang muncul atau bersinggungan, hanya persoalan politik-kekuasaanlah yang mengakibatkan satu sama lainnya terjadi konflik. Bicara soal asal usul identitas, sejarawan Onghokham, dengan sederhana pernah berilsutrasi terhadap contoh sebuah identitas, tentang wajah Islam yang mungkin hanya merupakan cat pada permukaannya yang jika digaruk akan menunjukan Hindu-Budha, dan bila digaruk lebih dalam lagi akan terlihat wajah yang sebenarnya, yakni animisme.     

Terlepas dari klaim atas fakta, dongeng pun turut mewarnai kehadiran sosok Tionghoa dengan begitu kental. Dalam “Putri Cina” yang ditulis oleh Sindhunata, bahwa Prabu Brawijaya kelima, Raja Majapahit memperistri seorang Putri Campa, Putri Cina. Kemudian Putri Cina tersebut pergi ke Palembang lantaran diceraikan oleh Prabu Brawijaya, di Palembang Putri Cina melahirkan anak bernama Raden Kusen dan Raden Fatah (Raja Islam Demak) yang berguru kepada kepada Wali atau Sunan yang kemudian mendapatkan ajaran Islam. 

Momentum migrasi yang cukup besar barangkali terjadi lewat cerita sang petualang dari Tionghoa, Laksamana Cheng Ho, dimana 26 kapal besar yang masing-masing kapal memuat seribu orang, pernah mendarat di beberapa perairan pesisir Utara Jawa: Sunda Kelapa, Tuban, Gresik, Surabaya, Majapahit pada satu abad sebelum Belanda (VOC,1602) menginjak di Indonesia. Hal ini dapat dibayangkan begitu besar etnis Cina yang tersebar di wilayah Jawa menyebar ke setiap pelosok yang sementara  penduduk jawa sendiri masih sedikit. Lantaran pengaruh Cheng-ho tersebut, sepanjang  pesisir Utara Pulau Jawa pun kemudian disebut Dampo Awang.  

Dari cerita Pramoedya A. Tatoer, adanya  kelenteng Sampo dan Gua Sam Po di Semarang di Bukit Simongan, Semarang, dimana orang-orang Tionghoa dan keturunannya bersembahyang memanjatkan syukur pada Sam Po karena perlindungannya, juga sering digunakan sebagai tempat sembahyang syukur, diadakan pawai barong pada tahun baru Imlek.  Sam Po merupakan nama lain dari Cheng Ho  atau Cheng He atau Sang Po Toa Lang.  Kemudian nama Semarang pun ada yang menganggap berasal dari kata Sam Po Toa Lang, namun orang Pribumi menganggap bahwa nama Semarang berasal dari pohon asam yang jarang. 

  

Pada 1740 orang-orang Tionghoa melakukan perlawanan terhadap kompeni Belanda dimana Lasem merupakan pusat perlawanannya dan perang Cina terhadap kompeni pun berkecamuk.  Sementara, pada perang Jawa pertama atau perang Dipenogoro (1825-1830), orang-orang Tionghoa turut andil terhadap pihak Dipenogoro dengan melakukan penyelundupan senjata dari Singapura dan memasok pada wanita bangsawan Keraton Rembang yang kemudian menyerahkannya kepada pasukan Dipenogoro. 

Pada masa kolonial, perairan Jawa dulu bisa dikatakan sebagai pelabuhan perdagangan internasional seperti Cirebon, Anyer, Gresik, karena begitu pesat arus lalulintas kapal laut dengan kegiatan  bongkar muat barang baik ekspor maupun impor melalui kapal-kapal layar besar yang datang dari maupun pergi ke Cina, Sulawaesi, Maluku, Filipina. 

Pada masa pemerintahan Jan Pietersz Coen (abad 17), tenaga orang-orang Tionghoa pun dikerjapaksakan dalam kegiatan pembangunan untuk kepentingan pemerintahan kolonial layaknya bangsa kita yang dikerjapaksakan. Mereka dipekerjakan untuk pembangunan Batavia dalam pengerjaan jalan, sungai, kanal, serta gedung-gedung perkantoran. Orang-orang Tionghoa yang dipekerjakan tersebut diculik dari pantai selatan Tiongkok. Dalam setahun, Coen telah mendatangkan 800 orang Tionghoa untuk dipekerjakan.  Namun, apa yang berbeda dengan pekerja lainnya (luar Tionghoa) adalah kemandirian serta keuletannya mereka (Tionghoa) sehingga mampu melepaskan statusnya sebagai pekerja paksa dan kemudian menjadi pengusaha dan pedagang, mengusai sektor ekonomi masyarakat Batavia. 

Dalam kemajuannya berdagang, orang-orang Tionghoa dominan memegang pacht (hak monopoli sewa– pembelian, yang dijual lewat lelang kepada pedagang oleh Pemerintah Kolonial).  Pacht yang dijual tersebut berlaku selam satu tahun. Lewat pacht persebut selam satu tahu para pedagang Tionghoa dapat menarik ongkos, cukai-bea pengangkutan, pembuatan garam, penyeberangan, penggadaian, dan ongkos penjualan lainnya.  

Bangsa kolonioal Belanda iri terhadap kegigihan dan kemandirian orang-orang Tionghoa, lantas tekanan lewat aturan sampai kekerasan pun dilakukan kolonial terhadap warga Tionghoa. Kita mengenal Kali Angke di Batavia, nama kali tersebut berasal dari bahasa Cina yang berarti kali merah, konon disungai ini lah banyak warga Tionghoa dibunuh dan dibuang ke kali Angke tersebut. Banjir darah warga Tionghoa pun bersimbah di Kali Merah, Kali Angke.  

Coen pun membangun kamp-kamp tawanan perang berdasarkan ras dan etnik, dikenal dengan Kampung Bali, Kampung Jawa, Kampung, Melayu, Kampung Arab, dan Kampung Cina (Pecinan). Staretegi coen ini lah yang kemudian membentuk sistem pemukiman yang didasarkan atas diferensiasi ras dan etnik dengan alasan politis, agar mudah mengontrol dan menjaga stabilitas pemerintahan kolonial karena banyak dari mereka dianggap mengganggu ketertiban umum. Namun perkampungan tersebut tak lain adalah bentuk pemasungan dan pengasingan terhadap ras dan etnik.        

Pengasingan dalam bentuk pengaturan pemukiman yang terpisah tegas secara etnis dan ras tersebut didasarkan pada kebjikan pemerintah kolonial yang disebut dengan Exhorbitante Rechtent, dimana Gubernur Jenderal Hindia Belanda memiliki hak istimewa untuk menentukan tempat tinggal golongan-golongan etnis maupun ras.  Ini barangkali bentuk halus dari genosida atau penerapan lain dari konsep appartheid. 

Namun tak selamanya berlaku, seperti yang diungkapkan Onghokham, konsep Exhorbitante Rechtent pada abad 20 dihapus, surat ijin perjalanan tidak berlaku. Akan tetapi politik appartheid masih dan semakin tampak dalam bidang pendidikan dimana sekolah untuk orang Eropa dikategorikan kelas paling tinggi ELS (Europese Lager Scool), lapisan menengah Tionghoa HCS (Holland Chineesche School), lapisan paling bawah pribumi HIS (Hollands Inlandsche School).    

Kecemburuan terhadap Tionghoa tidak hanya terjadi pada Kolonial, pun warga pribumi. Sebut saja perlawanan penduduk Cirebon pada abad ke 18 yang dipimpin oleh Mirsa, dan itu  merupakan reaksi terhadap dominasi kolonial dan (termasuk Tionghoa) di wilayah Cirebon yang dianggap sebagai biang keladi terjadinya rentetan krisis, wabah pes, dan keprihatinan rakyat. 

Sentimen anti Tionghoa dengan alasan kecemburan dan beda pandangan pernah disinggung oleh Onghokham dalam “Refleksi Historis Nusantara”.  Pada masa kolonial abad 19, dalam konteks sentimen tersebut, stratfikasi masyarakat terbagi menjadi pada beberapa golongan diantaranya priayi/bangsawan, pedagang, dan patani (petani miskin/peasent). Dalam struktur kehidupan masyarakat feodal tersebut golongan priyai atau bangsawan yang memangku jabatan di pemerintahan merupakan pribumi yang kurang begitu cerdik (tak pintar) dalam mengelola  sistem hubungan perdagangan. Walaupun mereka memiliki dan menguasai sumber produksi, mereka tidak memiliki orientasi bisnis (berdagang) dalam kehidupannya, kecuali jabatan dan kedudukan (politik kekuasaan). Selain itu juga, lantaran ada pandangan bahwa jika bangsawan (priyayi) menjadi pedagang maka dia turun derajat kelasnya dengan sebutan ndoro bakulan.   Ketidakcerdikan ini lah (dalam mengatur keuangan dan pengeluaran) membuat mereka tergantung terhadap golongan pedagang keturunan atau peranakan Tionghoa, Arab, Kauman, para Haji. Bahkan, untuk biaya operasional mereka sebagai pemangku jabatan pemerintah lebih banyak dibiayai oleh kaum pedagang. Dalam kondisi ketergantungan tersebut secara tidak langsung pengaturan (kekuasaan) keuangan justru dikendalikan oleh kaum pedagang, hal ini juga sebetulnya bahwa pedagang berpengaruh terhadap pengauasaan politik golongan bangsawan. 

Hubungan antara kaum pedagang dan petani adalah hubungan yang siftanya eksploitatif lantaran kaum pedagang menguasai dagang dengan sistem ijon. Gambaran kondisi petani pada waktu itu adalah miskin, lemah, tak berdaya. Jika golongan bangsawan/priayi saja tidak tangkas dalam berdagang apalagi dengan petani. Atas ketidakberdayaan ini lah mereka mengumpat dan mencela kaum pedagang dengan sebutan setan, karena telah membuat mereka kelaparan dan tak berdaya. Dari sinilah muncul tuduhan terhadap para pedagang kaya dengan celaan babi negepet, pemelihara tuyul, sampai mitos nyai Blorong yang suka dipelihara oleh kaum pedagang.  Kemudian penduduk petani melakukan upaya-upaya dalam bentuk ritual untuk membebaskan dan membersihkan lingkungannya dari setan dan iblis. Walaupun demikian, para bangsawan tetap saja menggantungkan harapannya terhadap kaum pedagang tersebut.       

Peranan Tionghoa dalam penguasaan perdagangan di nusantara terus menggeliat dan menguat. Pada masa VOC di abad pertengahan 18, Tionghoa melakukan pembukaan lahan tebu dalam skala yang besar secara tradisional dan sekaligus mendrikan pabrik pengolahan gula sehingga mampu melakukan ekspor dalam jumlah yang sangat besar. Hingga abad 20, Pulau Jawa dikenal Hindia-Belanda dengan sebutan “gabus tempat Pulau Jawa mengapung” (de kurk waarop Java  dreef).  Hal ini karena Pulau Jawa merupakan pusat kegiatan ekonomi dan sperempat pendapatan Hindia-Belanda dari ekspor gula. Meskipun pada 1930 mengalami depresi, sebelumnya, beberapa pengusaha swasta Tionghoa memutarkan modal mereka pada bisnis gula, seperti Tam Tjie dari Cirebon, Hanhoo Tong dari Pasuruan. Bahkan. Oei Tiong pengusaha gula swasta Tionghoa memiliki perusahahan rakasa karena ekspor gula bersakala internasional.  Dengan demikian, Oei Tong adalah tercatat di pemerintah Hindia-Belanda sebagai pembayar pajak tertinggi. 

Setelah berdirinya Negara Indonesia,  stigmatisasi, pendeskriditan, terhadap warga Tionghoa pun mengalami perubahan pengucilan dengan model modern tau dikenal dengan subversi. Hal ini bisa terjadi ketika pembedaaan dalam identitas penduduk dan dokumen status kewarganegaraan, yang dilakukan oleh Pemrintah terhadap warga Tionghoa. Hal tersebut menggambarkan politik exorcism lewat kebijakan politik Pemerintah akan selalu menyisakan pembagian golongan antar outsider  dan insider. Excorcism tak lain adalah upaya pembersihan terhadap  para pedagang kaya (khususnya keturunan Tionghoa) yang dianggap  sebagai setan, iblis, pemelihara tuyul. 

Dalam perjalanan Indonesia di tahun 65-66, Tionghoa pun dengan mudah disangkutpautkan dengan gerakan 30 S lantaran disinyalir bercumbu dengan PKI. Tentu saja korban yang belum tentu bersalah pun di tangkap dan dipenjara. Pembatasan kegiatan-kegiatan Tionghoa seperti peringatan tahun baru imlek sempat dikeluarkan lewat peraturan pada masa orde baru karena dianggap subversi. Padahal peringatan Tahun Baru imlek merupakan upacara keagamaan jauh telah berlangsung dan merupakan tradisi kepercayaan seperti apa yang dilakukan di kelenteng dan gua Sam Po (Cheng Ho) Semarang. Begitu sesak gerak, begitu sempit langkah. 

Akhir masa orde baru, rentetan kerusuhan terjadi di pusat kota Jakarta dan berbagai pelosok Indonesia. Penjarahan dan pembakaran toko-toko menjadi sasaran amuk masa, Tionghoa pun banyak yang menderita dan ketiban atas rentetetan kerusuhan dipenghujung era Orde Baru. Sebuah ongkos demokrasi untuk Indonesia yang mesti juga Tionghoa ikut membayarnya untuk menembus era reformasi.

Kini agaknya bisa bernafas lega. Untuk menyuarakan Gong Xi Fa Cai pun dipersiapkan sedemikian rupa, tidak hanya warga Tionghoa dan penyelenggaraan pun tak cuma dilingkungan keluarga, media dan masyarakat pun antuasias mengapresianya. Acara tahun baru Imlek disulap menjadi pesta pora, tidak hanya semata-mata tradisi upacara bakar dupa atau do’a di kelenteng bagi para leluhur saja. Hal-hal yang seremonial-spiritual kuno tersebut bahkan kini cenderung direduksi lantaran telah terganti substansinya yang semula syahdu, khusyu menjadi terkesan foya-foya. Kemudian kafe-kafe dan restoran pun menawarkan sajian penuh dengan nuansa Imlek. Hotel dan  berbagai perusahan Event Organizer  ramai-ramai mengajukan dan menawarkan desain acara yang lebih formula, menggigit, dan gegap gempita. Tentu saja itu semua ditawarkan dengan tarif harga acara yang tinggi dan bergengsi.  

Dan inilah apa yang dikatakan Onghokham sebagai detradisonalisasi (modernisasi) budaya etnis Tionghoa lantaran sekuleritas tengah hinggap pada atribut-atribut perayaan Imlek. 

Gong Xi Fa Chai! (snd)